Selasa, 23 Maret 2010


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jika dilihat problema yang terjadi, banyak orang yang beragama tapi tidak tahu apa itu agama. Atau hanya tahu agama hanya berupa keyakinan semata, tidak tahu unsur-unsur apa saja yang bisa dikatakan agama.
Misalnya jika orang tua tidak bisa memberikan penjelasan apa itu agama kepada anak secara benar, hal ini akan berakibat anak ini nanti tidak begitu paham akan agama dan tidak meyakininya, dan pada akhirnya bisa saja terjadi pindah agama. Sehingga banyak kita lihat orang pidah agama dengan semaunya, dikarenakan tidak paham dan kurang mengerti akan apa itu agama.
Oleh sebab itu, berangkat dari pernyataan diatas, saya akan menjelaskan apa itu agama, unsur-unsur apa saja yang terkandung, dan lain-lain yang akan dibahas pada bab selanjutnya.





BAB II
PEMBAHASAN

A. APA ITU AGAMA
Defenisi Agama menurut Durkheim adalah suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tungga”. Dari defenisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “sifat kudus” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu makhluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Disini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi.
Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang “kudus” itu “dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan , yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi”. Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya.
Agama berasal dari kata religi yang berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang kumpulan cara-cara mengabdi kepada tuhan dan harus dibaca. Pendapat lain mengatakan, kata itu berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran ajaran agama memang memiliki sifat mengikat bagi manusia, yakni mengikat manusia dengan Tuhan. Seseorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Dari kata tersebut, memang ada kesamaan yaitu ikutan yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia. Ikatan itu berpengaruh sekali kepada kehidupan manusia dan ikatan tersebut berasal dari kekuatan yang lebih tinggi. Suatu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra.
Intisari yang terkandung dari istilah-istilah yang disebutkan adalah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Oleh karena itu agama diberi defenisi-definisi sebagai berikut:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi manusia.
2. Pengakuanterhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang menganding pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Percaya pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup yang tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber dari kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Rasul.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata regere berasal dari kata relgi mengandung makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam relgi terdapat norma-norma dan aturan-aturan yang ketat. Dalam relgi ini orang Roma mempuyai anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap yang kudus dan suci tetapi juga sekalian tabu.
Disisi lain, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Agama berasal dari kata Sankrit. Kata itu tersusun dari dua kata, a=tidak dan gam=pergi, jadi tidak pergi tetap ditempat. Agama memang mempunyai sifat yang demikian.
Religi berasal dari kata religie (bahasa Belanda) atau religion (bahasa Inggris), masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dibawa oleh orang-orang Barat yang menjajah bangsa Indonesia. Religi mempunyai pengertian sebagai keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang suci, menentukan jalan hidup dan mempengaruhi kehidupan manusia yang dihadapi secara hati-hati dan diikuti jalan dan aturan serta norma-normanya dengan ketat agar tidak sampai menyimpang atau lepas dari kehendak jalan yang telah ditetapkan oleh kekuatan gaib suci tersebut.
Din dalam bahasa Semit (Arab) berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, patuh, kebiasaan. Undang-undang atau hukum tersebut harus ditunaikan oleh manusia, jika mengabaikannya berarti hutang yang akan dituntut untuk ditunaikan dan akan mendapatkan hukuman atau balasan jika ditinggalkan.
Dari etimologi ketiga kata diatas (religi, religion, din) maka dapat diambil pengertian bahwa agama adalah:
1. Merupakan jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia untuk mewujudkan kehidupan yang aman, temtram, dan sejahtera.
2. Bahwa jalan hidup tersebut berupa aturan, nilai atau norma yang mengatur kehidupan manusia yangg dianggap sebagai kekuatan mutlak, gaib dan suci yang harus diikuti dan ditaati.
3. Aturan tersebut ada, timbul dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya kehidupan manusia, masyarakat, dan budaya.
Secara terminologi dalam eksiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan arutan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Dalam Al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya kosep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi.
Konsep din dalam Al-Qur’an diantaranya terdapat pada surat Al-maidah ayat 3 yang mengungkapkan konsep aturan, hukum atau perundang-undangan hidup yang harus dilaksanakan oleh manusia. Islam sebagai agama namun tidak semua agama itu Islam.
Surat Al-Kafirun ayat 1-6 mengungkapkan tentang konsep ibadah dan kepada siapa ibadah itu diperuntukkan. Dalam surat Asy-Syura ayat 13 mengungkapkan din sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh Allah. Dalam surat Asy-Syura ayat 21 din juga dikatakan sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh yang dianggap tuhan atau yang dipertuhankan selain Allah. Karena din dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang disyariatkan, maka konsep din berkaitan dengan konsep yang syariat. Konsep syariat pada dasarnya adalah “jalan” yaitu jalan hidup manusia yang ditetapkan oleh Allah. Pengertian ini berkenmbang menjadi aturan atau undang-undang yang mengatur jalan kehidupan sebagaimana ditetapkan oleh Tuhan. Pada ayat lain, yakni surat Ar-Rum ayat 30, konsep agama juga berkaitan dengan konsep fitrah, yaitu konsep yang berhubungan dengan pencipta manusia.
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indosesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut.
Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta agama berarti “tradisi”. Sedangkan kata lain untuk mengatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksud dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Defenisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Arti defenisi ini diharapkan tidak terlalu sempit dan terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal, Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebutkan sifat-Nya saja seperti Yang Maha Berkuasa, ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.
Keyakianan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:
1. Menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan.
2. Menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dan lain-lain yang diyakini berasal dari Tuhan.
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat tiga unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.




BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa agama itu adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Agama terdapat tiga unsur, yaitu manusia, penghambaan, dan Tuhan. Maka sesuatu dikatakan agama jika mengandung tiga unsur tersebut, jika tidak mengandung tiga unsur itu, maka tidak bisa dikatakan agama.

B. SARAN
Dari hasil makalah yang penulis buat ini, maka masih banyak kekurangannya, baik dari sisi isinya maupun dari sumber-sumber yang diambil, oleh karena itu untuk kelanjutannya penulis mengharapkan pembaca dapat meningkatkan dan mengembangkan lagi mengenai hal ini.


DAFTAR PUSTAKA

- Afrizal, 2008, mengkritisi Agama dan Filsafat, Pekanbaru: Suska Press.
- Bakhtiar, Amsal, 2007, Filsafat Agama, Jakarta: RajaGravindo Persada.
- Gazalba, Sidi, 1978, Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama, Jakarta:Bulan Bintang.
- www. Apa itu agama.com.

perencanan dalam keperawatan


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses keperawatan merupakan cara yang sistematis yang dilakukan oleh oleh perawat bersama klien dalam menentukan kebutuhan asuhan keperawatan dengan melakukan pengkajian, melakukan diagnosis, merencanakan tindakan yang akan dilakukan, melaksanakan tindakan serta mengevaluasi hasil asuhan yang telah diberikan dengan berfokus pada klien, berorientasi pada tujuan pada setiap tahap saling terjadi ketergantungan dan saling berhubungan.
Nah, dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan salah satu tahap dari keperawatan, yaitu tahap perencanaan. Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, mengoreksi masalah-masalah yang telah diidentifikasikan pada diagnosis keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosis keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi.
Secara sederhana, rencana keperawatan dapat diartikan sebagai suatu dokumen tulisan tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan, dan intervensi keperawatan. Sebagai mana disebutkan sebelumnya, rencana keperawatan merupakan metode komunikasi tentang asuhan keperawatan kepada klien. Setiap klien memerlukan asuhan keperawatan perlu suatu perencanaan yang baik.




BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERENCANAAN KEPERAWATAN
Perencanaan adalah suatu keputusan untuk masa yang akan datang, artinya apa, siapa, kapan, dimana, kenapa, dan bagaimana yangakan harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara umum, perencaanaan dapat ditinjau dari sisi:
- Proses : pemilihan dan pengembangan tindakan yang paling menguntungkan untuk mencapai tujuan.
- Fungsi: kepemimpinan dengan kewenangan yang dapat mengarahkan kegiatan dan tujuan yang harus dicapai.
- Keputusan : apa yang akan dilakukan untuk waktu yang akan datang.
Perencanaan keperawatan adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan, untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosis keperawatan yang telah ditentukan. Tujuan perencanaan keperawatan adalah terpenuhinya kebutuhan klien.
Rencana asuhan keperawatan mempunyai dua tujuan, yaitu:
1. Tujuan administrasi
a. Mengidentifikasi focus keperawatan: klien (individu) atau kelompok.
b. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi kesehatan lainnya.
c. Menyusun kriteria guna penggulangan asuhan keperawatan dan evaluasi keberhasilan asuhan keperawatan.
d. Menyediakan kriteria klasifikasi klien
2. Tujuan klinik
a. Menjadi suatu pedoman dalam penulisan
b. Mengomunikasikan asuhan keperawatan yang akan diimplementasikan dengan perawat lainnya seperti apa yang akan diajar, apa yang harus diobservasi, dan apa yang akan dilaksanakan.
c. Menyusun kriteria hasil (autcomes) guna pengulangan asuhan keperawatan dan evaluasi keberhasilan asuhan keperawatan.
d. Rencana intervensi yang spesifik dan langsung bagi perawat untuk melaksanakan intervensi kepada klien (individu) dan keluarganya.

B. LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERENCANAAN KEPERAWATAN
Langkah-langkah menyusun perencanaan keperawatan adalah sebagai berikut:
1. Menentukan urutan prioritas masalah
Tahap ini memilih masalah yang memerlukan perhatian/prioritas di antara masalah-masalah yang telah ditentukan. Prioritas tertinggi diberikan pada masalah yang memengaruhi kehidupan atau keselamatan pasien. Selain itu, masalah nyata mendapatkan perhatian atau prioritas lebih tinggi daripada masalah potensial. Pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam menentukan prioritas masalah adalah sebagai berikut.
a. Prioritas tertinggi diberikan pada masalah kesehatan yang mengancam kehidupan atau keselamatan pasien.
b. Masalah nyata yang sedang dialami diberi perhatian lebih daripada masalah yang mungkin (pontendial).
c. Memperhatikan pola kebutuhan dasar manusia menurut hierarki Maslow
2. Merumuskan tujuan keperawatan yang akan dicapai
Yang dimaksud dengan tujuan keperawatan ialah hasil yang Ingin dicapai dari asuhan keperawatan untuk menanggulangi dan mengatasi masalah yang telah dirumuskan dalam keperawatan.
Pernyataan tujuan keperawatan harus jelas disebutkan, sehingga perawat yang mengawasi pasien setelah membaca tujuan tersebut sanggup menentukan apakah tujuan telah dicapai atau belum.
Secara garis besar, tujuan keperawatan terbagi menjadi dua kategori, yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang.
a. Tujuan jangka pendek adalah hasil yang dicapai dalam waktu cepat, yaitu dalam kurun waktu jam atau hari. Misalnya Tuan Ari dalam tujuh hari mampu berjalan dengan menggunakan tongkat sejauh 100 m.
b. Tujuan jangka pendek adalah hasil yang dalam pencapaiannya memerlukan waktu lebih lama. Misalnya Tuan Lukman dapat berjalan tanpa alat bantu pada saat pulang.
Tujuan yang didapat harus dapat diukur secara spesifik dan realsitis sesuai dengan permasalahan klein dan dapat mengarahkan intervensi keperawatan.
3. Menentukan Rencana tindakan keperawatan
Menentukan rencana tindakan keperawatan adalah langkah penentu dalam tindakan keperawatan dalam rangka menolong pasien, untuk mencapai suatu tujuan keperawatan.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun rencana keperawatan adalah:
- Tindakan apa yang harus dilakukan?
- Mengapa tindakan itu dilakukan?
- Kapan tindakan itu dilakukan?
- Siapa yang akan melakukan tindakan
- Bagaimana caranya tindakan itu dilakukan.
Rencana tindakan dibuat secara narasi, berupa kalimat instruksi, ringkas, tegas, dan mudah dimengerti, yang mengandung tujuan dan rencana
Dalam buku Tarwoto dan Wartonah, menjelaskan bahwa pada tahap perencanaan ada 4 hal yang harus diperhatikan:
1. Menentukan prioritas masalah
Bagaimana cara dalam memperioritas masalah diantaranya adalah:
- Berdasarkan hierarki Maslow yaitu fisiologis, keamanan/keselamatan, mencintai, dan memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri.
- Berdasarkan Griffith-Kenney Christensen dengan urutan :
a. Ancaman kehidupan dan kesehatan
b. Sumber daya dan dana yang tersedia
c. Peran serta klien
d. Prinsip ilmiah dan prektek keperawatan
2. Menentukan tujuan
Dalam menetukan tujuan digambarkan kondisi yang diharapkan disertai jangka waktu.
3. Menentukan kriteria hasil
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kriteria hasil:
a. Bersifat Spesifik dalam hal isi dan waktu misalnya pasien dapat menghabiskan 1 porsi makanan selama 3 hari setelah operasi.
b. Bersifat Realistik artinya dalam menentukan tujuan harus dipertimbangkan faktor fisiologis/patologi penyakit yang dialami dan sumber yang tersedia waktu pencapaian.
c. Dapat Diukur
d. Mempertimbangkan keadaan dan keinginan pasien.
4. Merumuskan intervensi dan aktivitas perawatan.



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tahap perencanaan dalam keperawatan ini sangat penting, hal ini dilakukan agar proses keperawatan dapat dicapai sesuai apa yang diharapkan. Rencana keperawatan yang akan disusun harus mempunyai beberapa komponen, yaitu prioritas masalah, kriteria hasil, rencana intervensi, dan pendokumentasi. Komponen-komponen tersebut sangat membantu pada proses evaluasi keberhasilan asuhan keperawatan yang telah diimplementasikan.
B. SARAN
Dari hasil makalah yang penulis buat ini, maka masih banyak kekurangannya, baik dari sisi isinya maupun dari sumber-sumber yang diambil, oleh karena itu untuk kelanjutannya penulis mengharapkan pembaca dapat meningkatkan dan mengembangkan lagi mengenai hal ini.



DAFTAR PUSTAKA

- Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.
- Nursalam, 2008, Proses dan Dokumentasi keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.
- Suardi, S. dan Bahtiar, Yayan, 2002, Manajemen Keperawatan, Jakarta,: Erlangga.
- Tarwoto dan Wartonah, 2006, Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.

pengertian remaja


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa remaja, menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur 12-21 tahun bagi wanita, dan 13-22 tahun bagi pria. Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescence yang artinya “tumbuh dan tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bahasa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa sudah remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dinggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi.
Meskipun demikian, untuk mendefenisikan remaja itu agak sulit, karena pada tahap ini adalah tahap peralihan antara masa anak-anak dengan remaja. Arti remaja sulit diartikan dari umur, karena umur bukanlah satu-satunya acuan perkembangannya, karena perkembangan menuju remaja ditentukan oleh pengaruh dimana ia tinggal. Oleh karena itu, untuk mengetahui masa remaja itu apa dan bagaimana, kita harus tinjau dari berbagai aspeknya yang akan dibahas dalam makalah ini.








BAB II
PEMBAHASAN

A. Remaja Menurut Hukum
Konsep tentang “remaja”, bukanlah ditinjau dari bidang hukum, melainkan dari bidang-bidang ilmu social lainnya, seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi, dan Paedagogi. Konsep remaja merupakan konsep yang relatif baru, jadi tidak mengherankan kalau berbagai UU yang ada diberbagai belahan dunia tidak dikenal dengan istilah “remaja”. Di Indonesia sendiri, konsep ”remaja” tidak dikenal dalam sebagian UU yang berlaku. Hukum Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, walaupun batasan yang diberikan untuk itupun bermacam-macam.
Misalnya, hukum perdata memberikan batas usia 21 tahun (atau kurang dari itu tapi sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang. Jadi anak di bawah usia tersebut masih membutuhkan worang tua jika melakukan tindakan hukum pidana. Disisi lain, hukum pidana memberi batasan 18 tahun sebagai usia dewasa (atau yang kurang dari itu tapi sudah menikah). Jka kurang dari usia itu, jika ia melanggar hukum pidana, ia masih menjadi tanggung jawab orang tuanya.
Nah, begitu banyak lagi hukum yang tidak menetapkan usia remaja. Namun tampaknya hanya UU perkawinan saja yang mengenal konsep “remaja” walaupun tidak secara terbuka. Usia minimal untuk perkawinan menurut UU tersebut adalah 16 tahun untuk wanita, dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7 UU No. 1/1974 tentang perkawinan). Jelas bahwa UU tersebut menganggap orang diatas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah. Walaupun begitu, selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan orang tersebut.baru setelah mencapai usia 21 tahun is boleh menikah tanpa izin orang tua (Pasal 6 ayat 2 UU No. 1/1974).
Tampaknya disini UU tidak menganggap bahwa usia 16 tahun (untuk wanita) atau 19 tahun (untuk pria) sebagai bukan lagi anak-anak lagi, tapi mereka juga belum dianggap dewasa penuh sehingga perlu izin dari orang tua untuk mengawinkan mereka. Karena waktu 16/19 tahun sampai 21 tahun inlah ang dapat disejajarkan dengan pengertian “remaja” dalam ilmu-ilmu social lainnya.

B. Remaja Ditinjau Dari Perkembangan Fisik
Memasuki masa remaja diawali dengan kematangan seksual, maka remaja dihadapkan pada keadaan yang memerlukan penyesuain untuk dapat menerima perubahan-perubahan yang terjadi.
Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait, remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik dimana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Perubahan-perubahan tubuh selama masa remaja terbagai dua, yaitu:
1. Perubahan Eksternal
a. Tinggi
Rata-rata anak perempuan mencapai tinggi yang matang antara usia 17 dan 18 tahun, dan rata-rata anak laki-laki kira-kira setahun sesudahnya.
b. Berat
Perubahan Berat badan mengikuti jadwal yang sama dengan perubahan tinggi tetapi berat badan sekarang tersebar ke bagian-bagian tubuh yang tadinya hanya mengandung sedikit lemak atau tidak mengandung lemak sama sekali.
c. Proporsi Tubuh
Berbagai anggota tubuh lambat laun mencapai perbandingan tubuh yang baik. Misalnya , bada melebar dan memanjang sehingga anggota badan tidak lagi kelihatan terlalu panjang.
d. Organ Seks
Baik organ seks pria maupun wanita mencapai ukuran yang matang pada akhir masa remaja, tetapi fungsinya belum matang sampai beberapa tahun kemudian.
e. Ciri-ciri Seks Sekunder
Ciri-ciri seks sekunder yang utama berada pada tingkat perkembangan yang matang pada akhir masa remaja.
2. Perubahan Eksternal
a. Sistem Pencernaan
Perut menjadi lebih panjang dan tidak lagi terlampau membentuk pipa, usus bertambah panjang dan bertambah besar, otot diperut dan dinding-dinding usus menjadi lebh tebal dan lebih kuat, hati bertambah berat dan kerongkongan bertambah panjang.
b. Sistem Peredaran Darah
Jantung tumbuh pesat selama masa remaja, pada usia 17 atau 18 tahun, beratnya 12 kali berat pada waktu lahir. Panjang dan tebal dinding pembuluh darah meningkat dan mencapai tingkat kematangan bilamana jantung sudah matang.
c. Sistem Pernafasan
Kapasitas paru-paru anak perempuan hampir matang pada usia 17 tahun, anak laki-laki mencapai tingkat kematangan beberapa tahun kemudian.
d. Sistem Endokrin
Kegiatan gonad yang meningkat pada masa puber menyebabkan ketidak seimbangan sementara dari seluruh system endokrin pada awal masa puber. Kelenjar-kelenjar seks berkembang pesat dan berfungsi, meskipun belum mencapai ukuran matang sampai akhir masa remaja atau awal masa dewasa.
e. Jaringan Tubuh
Perembangan kerangka berhenti rata-rata pada usia 18 tahun. Jaringan selain tulang, terus berkembang sampai tulang mencapai ukuran matang, khususnya bagi perkembangan jaringan otot.
C. Remaja menurut WHO
Pada tahun 1974, WHO memberikan defenisi tentang manusia yang lebih bersifat konseptual. Dalam defenisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu biologik, psikologik, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap defenisi tersebut berbunyi sebagai berikut.
Remaja adalah suatu masa di mana:
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Ditinjau dari bidang kegiatan WHO, yaitu kesehatan, masalah yang terutama dirasakan mendesak mengenai kesehatan remaja adalah kehamilan yang terlalu awal. Berangkat dari masalah pokok ini WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batas usia remaja. Kehamilan dalam usia-usia tersebut memang mempunyai risiko yang lebih tinggi (kesulitan melahirkan, sakit/cacat/kematian bayi/ibu) daripada kehamilan dalam usia-usia diatasnya.
Selanjutnya WHO mengatakan walaupun defenisi diatas terutama didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut berlaku juga untuk remaja pria dan WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Dalam hal itu, PBB sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda (youth) dalam rangka keputusan mereka untuk menetapka tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda Internasional.
Nah, melihat hal demikian, berarti seseorang dikatakan remaja hanya dilihat dari sisi usianya saja, tidak ditinjau dari keadaan sosial-psikologiknya.


D. Defenisi Sosial Psikologik
Umur berapakah renaja itu dimulai? Dan kapan pula berakhirnya?
Dalam menjawab pertanyaan ini, ahli Jiwa tidak sependapat, karena memang dalam kenyataan hidup umur permulaan dan berakhirnya masa remaja itu berbeda dari seorang kepada yang lain. Tergantung kepada masing-masing individu masyarakat dimana individu itu hidup.
Csikszentimihalyi dan Larson mengatakan bahwa remaja adalah “restrukturisasi kesadaran”. Mereka juga mengatakan bahwa puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi entropy ke kondisi negentropy.
Entropy adalah keadaan dimana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi. Entropy secara psikologik berartii isi kesadaran masih saling bertentangan, saling tidak berhubungan sehingga mengurangi kapasitas kerjanya dan menimbulkan pengalaman yang kurang menyenangkan buat orang yang bersangkiran.
Kondisi entropy ini selama masa remaja, secara bertahap disusun, diarahkan, distrukturkan kembali, sehingga lambat laun terjadi kondisi negative entropy atau negetropy. Kondisi negetropy adalah keadaan di mana isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait denan pengetahuan yang lain dan pengetahuan jelas hubungannya dengan perasaan atau sikap. Orang yang bersangkutan dalam keadaan negetropy ini merasa dirinya sebagai kesatuan yang utuh dan bisa bertindak dengan tujuan yang jelas, tidak bimbang-bimbang lagi, sehingga bisa mempunyai tanggung jawab dan semangat kerja yang tinggi.
Erikson mengatakan bahwa bentuk menemukan jati dirinya, maka remaja harus mempunyai peran dalam kehidupan sosialnya, berjuang dan mengisi masa remaja dengan hal-hal yang positif yang dapat mengembangkan dirinya. Perubahan sosial yang penting dalam masa remaja meliputi meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, pola perilaku sosial yang lebih matang, pengelompokan sosial baru dan nilai-nilai dalam pemilihan teman dan pemimpin dan dalam dukungan sosial.
Masa remaja merupakan satu tahapan dalam kehidupan manusia. Masa remaja sering digambarkan sebagai masa yang paling indah, dan tak terlupakan karena penuh dengan kegembiraan dan tantangan. Namun masa remaja juga identik dengan kata “pemberontakan”, dalam istilah psikologi sendiri sering disebut masa storm and stress karena banyak gocangan-goncangan dan perubahan-perubahan yang cukup radikal dari masa sebelumnya.
Batasan masa remaja dari berbagai ahli memang sangat bervariasi, disini dapat diajukan batasan: masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki dewasa.

E. Remaja untuk Masyarakat Indonesia
Mendefenisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya dengan menetapkan defenisi remaja secara umum. Masalahnya adalah karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan tingkatan sosial-ekonomi maupun pendidikan.
Walaupun demikian, sebagai pedoman umum kita dapat menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja indonesia dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Usia 11 tahun adalah usia di mana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik)
2. Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memerlukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial)
3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral (Kohlberg) (kriteria psikologik)
4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum bisa memberikan pandapat sendiri dan sebagainya.
5. Dalam defenisi diatas, status perkawinan sangat menentukan, karena arti perkawinan masih sangat penting dimasyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang sudah menikah, pada usia berapapun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Karena itu defenisi remaja disini dibatasi khusus untuk yang belum menikah.
Selanjutnya dalam batasan diatas ada 6 penyesuaian diri yang harus dilakukan remaja yaitu:
1. Menerima dan mengintegrasikan pertumbuhan badannya dalam kepribadiannya.
2. Menentukan peran dan fungsi seksualnya yang adekuat dalam kebudayaan di mana ia berada.
3. Mencapai kedewasaan dengan kemandirian, kepercayaan diri dan kemampuan untuk menghadapi kehidupan.
4. Mencapai posisi yang diterima oleh masyarakat.
5. Mengembangkan hati nurani, tanggung jawab, moralitas dan nilai-nilai yang sesuai dengan lingkungan dan kebudayaan.
6. Memecahkan problem-problem nyata dalam pengalaman sendiri dan dalam kaitannya dengan lingkungan.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian remaja itu sangatlah beragam. Namun dipastikan masa itu adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Dimana masa ini sering dikatakan masa yang paling indah dan perteluangan, namun juga merupakan masa pemberontakan dan penuh dengan goncangan. Dikatakan demikian, Karena masa remaja terdapat bagitu banyak perubahan-perubahan yang harus dilewati.

B. SARAN
Dari hasil makalah yang penulis buat ini, maka masih banyak kekurangannya, baik dari sisi isinya maupun dari sumber-sumber yang diambil, oleh karena itu untuk kelanjutannya penulis mengharapkan pembaca dapat meningkatkan dan mengembangkan lagi mengenai hal ini.














DAFTAR PUSTAKA

- Ali, M. dan Asrori, M, 2006, Psikologi Remaja, Jakarta: Bumi Aksara.
- Daradjat, Zakiah, 2003, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
- Hartati, Netty, 2004, Islam dan Psikologi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
- Hurlock, Elizabet B., 1980, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Penerbit Erlangga.
- Rumini, Sri dan Sundari, Siti, Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta:Rineka Cipta.
- Sarwono, Sarlito Wirawan, 2003, Psikologi Remaja, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
- Soetjiningsih, 2004, Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahnnya, Jakarta: Sagung Soto.

Minggu, 21 Maret 2010

RESPONDING DAN PROBING dalam konseling


RESPONDING DAN PROBING

BY: MARA SUZANA

Responding dan probing sangat dibutuhkan dalam situasi konseling. Yang mana responding adalah bagai mana ada tanggapan dalam suatu persoalan sehingga situasi dalam konseling semakin hidup. Begitu juga probing yaitu bagaimana cara konselor itu menggali segala informasi yang ingin ia dapat untuk membantu klien tersebut.

A. RESPONDING

Cara untuk memeprhatikan proses konseling adalah focus terhadap prilaku konselor, dan bagaimana prilaku tersebut dapat mempengaruhi klien. Jelas apabila dimungkinkan untuk mengindentifikasi tingakan konselor yang dapat dikaitkan secara konsisten kepada hsil yang baik, maka seharusya adalah mungkin untuk melatih dan mengawsi konselor dalam rangka memaksimalkan frekuesi terjadinya respon ini, dan mengurangi interaksi yang sangat tidak menolong. Clara Hill dan para koleganya telah menyusun daftar panjang respon konselor maupun klien (Jhon McLEOD, 2008, 385) yaitu:

Kategori Respon Verbal Terapis

  1. Persetujuan: respon ini dapatmenimbulkan simpati atau kcenderungan menenangkan dengan cara meminimalisasi masalah klien. Memeberikan dukungan emosional, persetujuan, penegasan, dan pengukuhan.
  2. Informasi: suplay informasi dalam berntuk data, fakta, atau sumber daya. Hal ini bisa jadi terkait dengan proses terapi, perilaku terapis, atau kesepakatan terapi (waktu, honor, tempat).
  3. Bimbingan langsung: ini adalah arahan atau saran yang diberikan terapis keada kllien berkenaan dengan apa yang harus dilakukan baik didalam sesi maupun di luar sesi konseing.
  4. Pertanyaan tertutup: mengumpulkan data atau informasi yang spesifik respon klien akan menjadi terbatas dan spesifik.
  5. Pertanyaan terbuka: pertanyaan untuk mendapatkan klarifikasi atau penjelasan oleh klien.
  6. Parafrasa: mencerminkan atau meringkas apa yang telah dikomunikasikan oleh klien baik secara verbal maupun non verbal. Tidak melampau apa-apa yang diucap klien atau menambahkan perspektif baru atau mengganti pertanyaan klien atau memberi penjelasan apapun untuk prilaku klien.
  7. Interprestasi: melampau apa yang telah dikenal oleh klien secara terbuka dan memberikan alasan, makna alternatif, atau kerangka kerja batu untuk perasaan, perilaku kepribadian
  8. Konfrontasi: menguak diskrepansi atau kontraksi tapi tidak menghadirkan alasan untuk diskrepansi tersebut.
  9. Menbuka Diri: berbagi perasaan atau pengalaman pribadi.

Kategori Respons Verbal Klien

  1. Renspons Sederhana: frasa pendek, terbatas, yang dapat sja mengindikasikan kesepakatan, pengumuman persetujuan apa yang telah diucapkan terapis, mengindikasikan ketidaksetujuan atau ketidak sepakatan atau merespons secara singkat pertanyaan terapis dengan informasi atau fakta tertentu.
  2. Permintaaan: percobaan untuk mendapatkan informasi atau saran atau untuk meletakkan tanggung jawab yang berat sebagai solusi permasalahan dari pihak terapis.
  3. Deskripi: mendiskusikan sejarah, peristiwa atau kecelakaan yang berhubungan dengan problem dengan menggunaka gaya narasi atau bercerita.
  4. Pengalaman: secara efektif mengeksplorasi perasaan, perilaku atau reaksi berkenaan dengan diri atau masalah, tapi tidak mencakup pemahaman kausalitas.
  5. Mengeksplorasi Hubungan Klien-Terapis: mengindikasikan perasaan, reaksi, sikap atau perilaku yang berkaitan dengan terapis atau situasi terapeutik.
  6. Pemahaman: mengindikasikan kemampuan klien untuk memahami atau mamapu meliha tema, pola atau hubungan kausalitas salam perilaku atau kepribadiannya, atau dalam perilaku atau kepribadian orang lain.
  7. Diskusi Rencana: merujuk kepada rencana berorientai aksi, keputusan, target masa depan dan perkiraan hasil dari rencana tersebut.
  8. Diam: diam sekitar empat atau lima detik antara pernyataan terapis dan pernyataan klien , atau segera setelah respons sederhana klien.
  9. Yang Lain: pernyataan yang tak berkaitan dengan masalah klien seperti percakapan singkat atau komentar berkenaan dengan cuaca atau peristiwa.

B. PROBING

Probing yaitu menggali informasi tentang klien, konselor mesti mempunyai teknik tertentu, misalnya jika klien menggungkapkan masalahnya, konselor memanfaatkan apa yang dikata klien menjadi pertanyaan, guna menggali informasi. Misalnya, saya tidak pandai belajar matematika, konselor memanfaantkan kata-kata itu dengan bertanya, apa sebabnya anda tidak pandai berlajar matematika? Nah klien akan menceritakan apa sebabnya, dengan kata lain konselor telah menggali informasi yang ingin didapatkan.

Informasi tentang klien tidak hanya diperoleh pada diri klien sendiri, namun bisa juga pada keluaganya, lingkungan sosial tempat dia tinggal dan sebagainya.yang kesemuanya dipergunakan untuk memperlancar dan mempercepat proses konseling tersebut.

Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui berbagai metode yang dapat dipergunakan untuk memperoleh data didalam merealisasi bimbingan dan konseling. (Bimo Walgito, 2005, 63). Diantara metode itu yaitu:

1. wawancara, yaitu salah satu metode untuk menggali data dari klien dengan cara memeberikan pertanyaan secara langsung kepada klien.

2. kuesioner, yaitu hampir sama dengan wawancara, namun dalam kuesioner dengan cara memberikan pertanyaan secara tidak secara langsung, seperti dengan menggunakan daftar pentanyaan di kertas yang diperlukan jawaban oleh responden, hal yang seperti ini dikatakan angket.

3. observasi, yaitu metode menggali data dengan melihat secara langsung peristiwa dan kesehatian ke tempat klien.

4. sosiometri, yaitu metode mencari data dengan melihat dilingkungan sosialnya. Metode Sosiometri harus digunakan dalam lingkungan sosial klien, karena kita mencari bagaimana klien dalam lingkungannya.

Sabtu, 20 Maret 2010

KODE ETIK SECARA UMUM

KODE ETIK SECARA UMUM

By: mara suzana

Kode etik adalah ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh siapa saja yang berkecimbung dalam bidang bimbingan dan konseling demi untuk kebaikan (Bimo Walgito, 2005, 36). Bimo Walgito dalam bukunya Bimbingan dan Konseling, mengemukakan beberapa kode etik dalam bimbingan dan konseling.

1. Pembimbing atau pejabat lain yang memegang jabatan dalam bidang bimbingan dan konseling harus memegang teguh prinsip-prinsip bimbingan konseling.

2. Pembimbing harus berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya, dengan membatasi diri pada keahliannya atau kewenangannya. Karena itu pembimbing jangan sampai mencampuri wewenang serta tanggung jawab yang bukan wewenang serta tanggung jawabnya.

3. Oleh karena itu pekerjaan pembimbing berhubungan langsung dengan kehidupan pribadi orang maka seorang pembimbing harus:

a. Dapat memegang atau memegang rahasia klien dengan sebaik-baiknya.

b. Menunjukkan sikap hormat kepada klien.

c. Menghargai sama terhadap bermacam-macam klien. Jadi didalam menghadapi klien pembimbing harus menghadapi klien dalam derajat yang sama.

4. Pembimbing tidak diperkenankan:

a. Menggunakan tenaga pembantu yang tidak ahli atau tidak terlatih.

b. Menggunakan alat-alat yang kurang dapat dipertanggung-jawabkan.

c. Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik bagi klien.

d. Mengalihkan klien kepada konselor lain tanpa persetujuan klien.

5. Meminta bantuan kepada ahli dalam bidang lain di luar kemampuan atau di luar keahliannya ataupun di luar keahlian stafnya yangdiperlukan dalam bimbingan konseling.

6. Pembimbing haruslah menyadari akan tanggung jawabnya yang berat memerlukan pengabdian sepenuhnya.

Kode etik sangat membantu dalam menghadapi dilema etik dlam konseling, namun masih ada ambiguitas. Disini akan dipaparkan pernyataan soal kerahasiaan yang diambil dari kode etik BAC/BACP dan AACD.

Panduan kerahasiaan dari tiga kode etik (John McLEOD, 2008, 435):

British Association for Counseling (BAC/1984)

1. Konselor akan memperlakukan informasi pribadi klien dengan penuh kerahasiaan, baik itu yang didapat secara langsung maupun tidak langsung melalui penyimpulan. Termasuk dalam informasi tersebut adalah nama, alamat, detail riwayat hidup, dan deskripsi lain kahidupan dan kondisi klien yang dapat menghasilkan identfikasi klien.

2. Maksud kalimat “memperlakukan dengan penuh kerahasiaan” adalah tidak mengungkapkan informasi yang disebutkan diatas kepada orang lain atau melalui medium publik apapun, kecuali kepada pihak yang mewajibkan konselor memberikan laporan pertanggung-jawaban atas kerjanya (dalam kasus mereka yang bekerja dalam setting agensi atau organisasi) atau kepada mereka yang menjadi tempat konselor menyandarkan dukungan dan pengawasan.

3. Terlepas dari poin diatas, apabila konseling yakin bahwa klien dapat membahayakan orang orang lain, mereka akan memberitahukan kepada klien bahwa mereka dapat membatalkan kerahasiaan tersebut dan mengambil tindakan yang sesuai untuk memperingatkan seseorang atau pihak yang berwenang.

4. Informasi tentang klien tertentu hanya dapat digunakan untuk dipublikasikan dalam jurnal yang tepat atau sesuai dengan izin klien dan dengan tidak menyebutkan nama tertentu.

5. Diskusi konselor berkenaan dengan klien tertentu dengan kolega profesionalnya harus memiliki tujuan dan tidak sekadar berbincang-bincang.

British Association for Counseling and Psychotherapy (BACP/2001)

1. Praktek konseling bergantung pada kepercayaan klien yang didapatkan dan dihargai. Menghargai kepercayaan mensyaratkan:

a. Memperhatian kualitas aktivitas mendengarkan dan penghargaan ditawarkan kepada klien.

b. Cara berkomunikasi dengan sopan yang jelas serta tepat secara kultural.

c. Menghormati privasi dan harga diri.

d. Sangat memperhatikan izin dan kerahasiaan klien.

2. Situasi di mana klien menghadirkan resiko yang membahayakan mereka sendiri atau orang lain merupakan situasi yang sangat menantang bagi praktisi. Terdapat beberapa situasi di mana praktisi harus waspada pada kemungkinan konflik pertanggung-jawaban antara yang berkenaan dengan klien mereka, orang lain yang mungkin akan sangat berpengaruh, dan masyarakat secara umum. Tanggung-jawab memecahkan konflik menuntut perhatian terrhadap konteks dimana pelayanan tersebut diberikan. Dalam setiap kasus, tujuannya harus meyakinkan klien kualitas perhatian yang baik, yang memberikan penghargaan terhadap kemampuan klien menentukan sendiri ketika situasi mengizinkan.

3. Menghargai kerahasiaan klien merupakan pesyaratan mendasar untuk menjaga kepercayaan. Manajemen kerahasiaan profesional memberikan perhatian kepada perlingungan terhadap pengidetifikasian personal dan informasi sensitif dari penyingkapan tanpa izin. Penyingkapan dapat dilakukan dengan izin klien atau hukum. Tiap penyngkapan dilakukan dengan cara yang memberikan perlindungan yang terbaik terhadap kepercayaan klien. Praktisi harus menjadi accountable bagi klien dan profesi mereka berkenaan dengan manajemen kerahasiaan secara umum dan secara khusus bagi tiap penyingkapan yang dilakukan tanpa izin klien.

4. Harus ada izin dari klien apabila mereka akan diamati, direkam, atau apabila penyingkapan pengidentifikasian personal mereka dipergunakan untuk tujuan latihan.

American Association for Counseling and Development (AACD/1988)

1. Anggota menyediakan dukungan untuk mempertahankan kerahasiaan tersebut dalam tempat penyimpanan dan membuang rekaman serta mengikuti kebijakan yang telah ada berkenaan dengan penggunaan rekaman dan pelenyapannya. Karena itu, hubungan konseling dan informasi yang dihasilkannya harus tetap rahasia, konsisten dengan kewajiban anggota sebagai seorang profesional. Dalam situasi konseling kelompok, konselor harus menetapkan norma kerahasiaan yang berkaitan dengan pengungkapan terhadap anggota kelompok tersebut.

2. Apabila seseorang telah menjalin hubungan konseling dengan profesional lain, anggota tidak diperkenankan menjalin hubungan konseling tanpa menghubungan dan menerima persetujuan dari orang tersebut. Apabila anggota asosiasi mendapat klien berada dalam hubungan konseling lain setelah hubungan konseling (dengan dirinya) dimulai, anggota harus mendapat izin dari profesional tersebut atau mengakhiri hubungan konseling, kecuali jika klien memilih untuk mengakhiri hubungan konseling lain tersebut.

3. Ketika klien mengindikasikan dengan jelas bahaya besar terhadap klien atau orang lain, anggota assosiasi harus mengambil tindakan personal yang rasional atau menginformasikan pihak yang berwenang. Konsultasi dengan profesional lain harus dilakukan jika memungkinkan. Asumsi tanggung jawab terhadap prilaku klien hanya dapat diambil setelah pertimbangan yang dalam Klien harus dilibatkan untuk bertanggung jawab secepat mungkin.

4. Rekaman hubugan konseling termasuk catatan wawancara, data tes, korespondensi, rekaman kaset, penyimpangan data elektronik, dan dokumen lain harus dianggap sebagai informasi profesional dengan peruntukan penggunaan dalam konseling, dan mereka tidak dapat dianggap sebagai bagian dari rekaman institusi atau agensi yang mempekerjakan konselor kecuali ditetapkan oleh hukum atau aturan negara. Pengungkapan materi konseling lain hanya diperkenankan berdasarkan pernyataan langsung dari klien.

5. Dari sudut pandang luasnya penyimpangan data dan kapasitas pemrosesan komputer, anggota asosiasi harus meyakinkan bahwa data yang ada dalam komputer:

a. Terbatas pada informasi yang sesuai dan dibutuhkan untuk pelayanan yang diberikan.

b. Dihancurkan apabila informasi tersebut sudah tidak lagi bernilai bagi pelayanan yang diberikan.

c. Terbatas aksesnya kepada anggota staf yang mendukung pelayanan tersebut dengan menggunakan metode keamanan komputer terbaik yang tersedia pada saat itu.

6. Penggunaan data yang bersumber dari hubungan konseling untuk tujuan pendidikan konselor atau riset harus dibatasi pada materi yang dapat disamarkan untuk memastikan perlindungan penuh terhadap identitas klien yang menjadi subjek.

MENTAL HEALTH AS ABOVE NORMAL


MENTAL HEALTH AS ABOVE NORMAL
By: mara suzana
Mental yang sehat sering dibarengi dengan kenormalan, karena seseoang dikatakan mentalnya sehat apabila jiwanya normal. Mental yang sehat saling berhubungan dengan pribadi yang normal, pribadi yang normal saling adekuat (serasi, tepat) dan bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, sikap hidup sesuai dengan norma dan pola hidup kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan.(1)
Meskipun mental yang sehat sering dihubungkan dengan pribadi yang normal, dan mental yang tidak sehat dihubungkan dengan pribadi yang tidak sehat, namun pada hakikatnya konsep mengenal mengenai normalitas dan abnormalitas itu sangat samar-samar batasnya. Sebab pola kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan normal oleh suatu kelompok tertentu, bisa dianggap abnormal oleh kelompok lain. Akan tetapi, kita dapat mengatakan sesuatu itu abnomal jika tingkah laku itu mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum.
Pada umumnya setiap orang itu senantiasa memiliki mental yang sehat, namun karena suatu sebab ada sebagian orang yang memiliki mental yang tidak sehat. Orang yang tidak sehat mentalnya memiliki tekanan-tekanan batin. Dengan kepribadian seperti itu, kepribadian seseorang menjadi kacau dengan mengganggu ketenangannya. Gejala inilah yang menjadi pusat pengganggu ketenangan hidup. Orang yang bermental sehat akan merasakan suasana batin yang aman, tentram dan sejahtera, yang kesemuanya bertujuan untuk mencari ketenagan hidup.(2)
Untuk mengetahui secara jelasnya, sebaiknya kita lihat dulu apakah itu mental hygiene dan normal. Mental hygiene adalah mental yang seimbang, nah mental dikatakan seimbang apabila diri tanpa gangguan batin atau jiwa sehingga memiliki tujuan hidup dan dapat mencapai tujuan hidup itu, apabila dua hal ini terwujud maka dinamakan terwujud pulalah pribadi yang harmonis. Normal adalah seimbang, serasi, terpenuhi, yaitu seimbang jasmani dan rohaninya, serasi dengan lingkungannya, dan terpenuhi kebutuhannya.
Orang yang bermental sehat adalah orang yang dapat menguasai segala faktor dalam hidupnya sehingga ia dapat mengatasi kekalutan mental sebagai akibat dari tekanan-tekanan perasaan dan hal-hal yang menimbulkan frustrasi.(3)
Nah, diatas terlihat keselarasan antara mental hygiene dan normal. Seseorang yang memiliki mental, harus memiliki pribadi yang normal. Namun menurut saya, pribadi yang normal itu belum sepenuhnya bisa dikatakan mental yang sehat, karena normal itu bersifat relatif, namun mental yang sehat harus memiliki pribadi yang normal. Jadi cakupan mental hygiene itu lebih luas dan tinggi daripada pribadi yang normal.
Referensi:
1. Kartini Kartono, 2000, Hygiene Mental, Bandung: Mandar Maju. Hal. 5.
2. Yusak Burhanuddin, 1999, Kesehatan Mental, Bandung: CV Pustaka Setia, hal. 17.
3. Yusnitus Semiun, 2006, Kesehatan Mental 1, Yoyakarta: Kanisius. Hal. 50.