Jumat, 24 Desember 2010

TERAPI RASIONAL EMOTIF, kembangkan dan tingkatkan berfikir rasional anda


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Rasional emotif tergolong dalam orientsi atau perspektif kognitif. Akhir-akhir ini bernama REBT, singkatan dari Rational Emotif Behavior Teherapy, adalah suatu rancangan terapeutik dalam konseling atau psikoterapi yang dikembangkan oleh Albert Elles. Pemakai rancangan ini mementingkan berfikir rasional sebagai tujuan terapeutik. Menekankan modifikasi atau pengubahan, keyakinan irasional yang telah merusak berbagai konsekuensi emosional dan tingkah laku. Atau ringkasnya klien didukung untuk menggantikan ide tidak rasional dengan yang lebih rasional.
Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Alberl Ellis, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Teori ini dikembangkanya ketika ia dalam praktek terapi mendapatkan bahwa sistem psikoanalisis ini mempunyai kelemahan-kelemahan secara teoritis (Ellis,1974). TRE (Terapi rasional emorif) lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientassi kognitif-tingkah laku-tindakan dalam arti menitik beratkan berfikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak.
Tujuan dari RET Albert Ellis pada intinya adalah untuk mengatasi pikiran yang tidak logis tentang diri sendiri dan lingkungannya. Konselor/terapis berusaha agar klien makin menyadari pikiran dan kata-kata sendiri, serta mengadakan pendekatan yang tegas, melatih klien untuk bisa berfikir dan berbuat yang lebih realistis dan rasional.
BAB II
PEMBAHASAN
TERAPI RASIONAL EMOTIF
A. KONSEP-KONSEP UTAMA
TRE adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berfikir rasional dan jujur maupun untuk berfikir irasional dan jahat. TRE menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Menurut TRE, manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesak pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. (Gerald Corey, 2009: 238)
TRE menekankan bahwa manusia berfikir, beremosi, dan bertindak secara simultan, jarang manusia beremosi tanpa berfikir, seab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik. Sebagaimana dinyatakan oleh Ellis “ketika mereka beremosi, mereka juga berfikir dan bertindak. Ketika mereka bertindak, mereka juga berfikir dan beremosi . ketika mereka berfikir, mereka juga beremosi dan bertindak”. (Gerald Corey, 2009: 239)
Tentang sifat manusia, Ellis menyatakan bahwa baik pendekatan psikoanaitik Freudian maupun pendekatan eksistensial telah keliru dan bahwa metodologi-metodologi yang dibangun di atas kedua sistem psikoterapi tersebut tidak efektif dan tidak memadai. Menurut Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri.
Ellis tidak sepenuhnya menerima pandangan eksistensial tentang kecenderungan mengaktualkan diri disebabkan oleh fakta bahwa manusia adalah makhluk –makhluk biologis dengan kecenderungan-kecenderungan naluriahnya yang kuat untuk bertingkah laku dengan cara-cara tertentu.
Pandangan Ellis (1980) terhadap konsep manusia adalah:
  1. manusia mengkondisioning diri sendiri terhadap munculnya parasaan yang mengganggu pribadinya.
  2. kecenderungan biologisnya sama halnya dengan kecenderungan kultural untuk berfikir salah dan tidak ada gunanya, hal ini mengakibatkan kekecewaan pada dirinya sendiri.
  3. kemanusiaannya yang unik untuk menemukan dan menciptakan keyakinan yang salah, yang mengganggu, sama halnya dengan kecenderungan mengecewakan dirinya sendiri karena gangguan-gangguannya.
  4. Kemampuannya yang luar biasa untuk mengubah proses-proses kognitif , emosi dan perilaku, memungkinkan dapat:
Memilih reaksi yang berbeda dengan yang biasa dilakukan.
Menolak mengecewakan diri sendiri terhadap hampir semua hal yang mungkin terjadi.
Melatih diri sendiri agar secara setengah otomatis mempertahankan gangguan sesedikit mungkin sepanjang hidupnya.
Pandangan terhadap konsep manusia dari sudut pendekatan terapi rasional emotif dan perkembangannya kearah timbulnya perasaan tidak bahagia karena gangguan emosi yang pernah dialami, dikemukakan oleh Patterson (1980) (Singgih D. Gunarsa, 2003: 234) sebagai berikut:
1. Manusia adalah pribadi yang unik, rasional dan tidak rasional. Bila manusia bisa berfikir dan bertindak rasional, ia akan mampu pula bertindak secara efektif dan merasa bahagia.
2. Hambatan emosi atau hambatan psikologis, adalah akibat dari cara berfikir yang tidak rasional. Emosinya menyertai pikiran yang mengakibatkan pikirannya tidak rasinal.
3. Pikiran tidak rasional berakar pada hal-hal yang tidak logis yang dipelajari sejak awal, sesuatu yang terjadi secara biologis diperboleh dari orang tua dan dari lingkungan budayanya. Dalam perkembangannya, seorang anak yang mengetahui dan mempelajari sesuatu yang baik, akan mengembangkan kehidupan emosinya yang positif, misalnya cinta, atau pun kegembiraan. Sebaliknya jika seorang anak diberitahukan atau diketahui bahwa sesuai yang tidak baik dan tidak boleh dilakukan, maka terbentuk perkebangan emosi yang negatif, misalnya sakit, marah dan depresi.
4. Manusia berfikir dengan menggunakan simbol dan bahasa. Karena pikiran yang meyertai emosi, jika emosinya terganggu, maka akan muncul pikiran yang tidak rasional. Pribadia yang terhambat akan terus mempertahankan keadaannya yang tehmbat dan pikirannya yang tidak logis, dengan melakukan verbalisasi internal tentang pikiran yang tidak rasional.
5. Berlanjutnya hambatan emosi adalah akibat dai verbalisasi diri, yang dilakukan terhadap diri sendiri, jadi bukan sesuatu yang terjadi oleh pengaruh dari luar, melainkan dari pengamatan dan sikapnya terhadap sesuatu kejadian. Ellis menekankan bahwa bukan situasi yang yang menyebabkan terjadinya ansietas pada seseorang, melainkan pengamatan yang dilakukan pribadi terhadap sesuatu keadaan yang menimbulkan perasaan tidak enak.
6. Manusia memiliki sumber yang luas dan bebas untuk mengaktulalisasikan kemampuan-kemampuannya dan dapat mengubah tujuan pribadi maupun sosialnya. Ellis melihat manusia sebagai pribadi yang unik, yang memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasannya, untuk mengubah pangangan dasar dan sistem nilainya untuk melawan kecenderungan-kecendeungan untuk menolak diri sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk manghadapi sistem nilainya dan melatih kembali dirinya sendiri dengan keyakinan dan sistem nilai yang lain. Sebagai akibatnya, ia akan bertindak sangat berbeda dengan tidakannya yang dahulu.
7. Pikiran negatif menyalahkan pikiran dan emosi sendiri, karena itu harus dilawan dengan meyusun kembali pengamatan dan pemikirannya, sehingga menjadi logis dan rasional.
Pendekatan terapi rasional emotif menganggap bahwa manusia pada hakikatnya adalah korban dari pola berfikirnya sendiri yang tidak rasional dan tidak benar. Karena itu Ellis berkomentar bahwa pendekatan humanistik terlalu lunak dan mengakibatkan persoalan pada diri sendiri karena berfikir tidak rasional. Karena iru terapis dalam pendekatan ini berusaha memperbaiki melalui pola berfikirnya dan menghilangkan pola berfikir yang tidak rasional.
1. Ciri-ciri Konseling TRE
Ciri-ciri dari konseling rasional emotif adalah sebagai berikut:
a. Dalam menelusuri masalah klien tang dibantunya, konselor berperas lebih aktif dibandingkan dengan klien.
b. Dalam proses hubungan konseling harus diciptakan dan dipelihara hubungan baik dengan klien.
c. Terciptanya dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh konselor untuk membantu klien mengubah cara berfikirnya yang tidak rasional menjadi rasional.
d. Diagnosis (rumusan masalah) yang dilakukan dengan konseling rasional emotif bertujuan untuk membantu membuka ketidaklogisan pola berfikir klien.
2. TRE dan Kepribadian
Pandangan TRE tentang manusia adalah sebagai berikut:
Manusia dipandang sebagai sasaran tuntutan biologis dan sosial yang kuat, berpotensi berbuat rasional. Dapat mencegah dan mengeluarkan diri dari kesulitan emosional melalui kemaksimalan pemikiran rasionalnya. Konstruk inti mengenai kepribadian digambarkan sebagai suasana psikologis yang terutama ditimbulkan oleh pemikiran tidak logis, pemikira dan nalar bukanlah dua proses terpisah. Manusia terganjar dan terhukum oleh pemikiran atau bisik dari mereka sendiri.
Neurosis, yang didefenisikan sebagai “berfikir dan bertingkah laku irrasional”, adalah suatu keadaan alami yang pada taraf tertentu menimpa kita semua. Keadaan ini berakar pada kenyataan bahwa kita adalah manusia dan hidup dengan manusia-manusia lain dalam masyarakat.
Emosi-emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berfikir buruk terhadap sesuatu, maka kitapun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk. Ellis menyatakan bahwa “gangguan emosi pada dasarnya terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang diyakini secara dogmatis (pokok ajaran, atau kepercayaan, ajaran-ajaran yang tidak boleh dibantah) dan tanpa kritik, dan terhadapnya, orang yang terganggu beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah.
TRE menekankan bahwa menyalahkan adalah sebagian besar gangguan emosional. Oleh karena itu, jika kita ingin menyembuhkan orang yang neurotik atau psikotik, kita harus menghentikan penyalahan diri dan penyalahan terhadap orang lain yang ada pada orang tersebut. Orang perlu belajar untuk menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangan.
TRE memnyatakan bahwa orang-orang tidak perlu diterima dan dicintai, bahkan meskipun hal itu diinginkannya. Terapis mengajari para klien bagaimana meraasakan kesakitan, bahkan apabila para klien itu memang tidak diterima dan tidak dicintai oleh orang-orang lain yang berarti. Meskipun mendorong orang –orang untuk mengalami kesedihan karena tidak diterima oleh orang-orang lain yang berarti, terapis TRE berusaha membantu mereka untuk mengatasi segenap manifestasi daari depresi, kesakitan, kehilangan rasa berharga, dan kebencian.
TRE berhipotesis bahwa karena kita tumbuh dalam masyarakat, kita cenderung menjadi korban dari gagasan yang keliru, cenderung mengindoktrinasi diri gagasan-gagasan tersebut berulang-ulang dengan cara yang tidak dipikirkan dan autosugestif, dan kita tetap mempertahankan gagasan-gagasan yang keliru itu dalam tingkah laku overt kita. Beberapa gagasan irasional yang menonjolkan yang terus-menerus diinternalisasi dan tanpa dapat ddihindari mengakibatkan kekalahan diri. Ellis berpendapat sebagai berikut;
a. Gagasan bahwa sangat perlu bagi orang dewasa untuk dicintai atau disetujui oleh setiap orang yang berati di massyarakat.
b. Gagasan bahwa seseorang harus benar-benar kompeten, layak, dan berprestasi dalam segala hal jika seseorang itu menginginkan dirinya dihormati.
c. Gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat, dan harus dikutuk dan dihukum atas kejahatannya.
d. Gagasan bahwa lebih mudah menghindari daripada menghadapi kesulitan-kesulitan hidup dan tanggungjawab-tanggungjawab pribadi.
e. Gagasan bahwa adalah merupakan bencana yang mengerikan apabila hal-hal menjadi tidak seperti yang diharapkan.
f. Gagasan bahwa ketidakbahagiaaan manusia terjadi oleh penyebab-penyebab dari luar dan bahwa orang-orang hanya memiliki sedikit atau tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan kesusahan-kesusahan dan gangguan-gangguannya.
g. Gagasan bahwa masa lampau adalah determinan yang terpenting dari tingkah laku seseorang sekarang dan bahwa karena dulu sesuatu pernah mempengaruhi kehidupan seseorang, maka sesuatu itu sekarang memiliki efek yang sama.
3. Hakikat Masalah yang Dihadapi Klien
Hakikat masalah yang dihadapi klien dalam pendekatan TRE itu muncul disebabkan oleh ketidaklogisan klien dalam berfikir. Ketidaklogisan berfikir ini selalu berkaitan dan bahkan menimbukan hambatan, gangguan dan kesulitan-kesulitan emosional dalam melihat dan menafsirkan objek atau fakta yang dihadapinya. (Dewa Ketut Sukardi, 2002: 99-100)
Menurut TRE ini, individu merasa tercela diejek dan tidak diacuhkan oleh individu lain, karena ia memiliki keyakinan dan berfikir bahwa individu lain itu mencela dan tidak mengacuhkan dirinya. Kondisi yang demikian inilah yang disebut cara berfikir yang tidak rasional oleh TRE.
4. Teori A-B-C tentang Kepribadian
Teori A-B-C tentang kepribadian sangatlah penting bagi teeori dan praktek TRE. A adalah keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang. C adalah konsekuensi atau reaksi emosional seseorang reaksi ini bisa layak dan bisa pula tidak layak. A (peristiwa yang mengaktifkan) bukan penyebab timbulnya C (konsekuensi emosional). B yaitu keyakinan individu tentang A, yang menjadi penyebab C, yakni emosi emosional. Misalnya, jika seseorang mengalami depresi sesudah perceraian, bukan perceraian itu sendiri yang menjadi penyebab timbulnya reaksi depresi, melainkan keyakinan orang itu tentang perceraian sebagai kegagalan, penolakan, atau kehilangan teman hidup Ellis berkeyakinan akan penolakan dan kegagalan (pada B) adalah yang menyebabkan depresi (pada C), jadi bukan peristiwa perceraian yang sebenarnya (pada A). Jadi manusia bertanggung jawab atas penciptaan reaksi-reaksi emosional dan gangguan-gangguannya sendiri.
Untuk mudah dimengerti lagi, bahwa:
- A Adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu, seperti kesulitan-ke­sulitan keluarga, kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal lain yang kita anggap sebagai penye­bab ketidak bahagiaan.
- B Adalah beliefs, yaitu keyakinan-ke­yakinan, terutama yang bersifat irasional dan merusak diri sendiri yang merupakan sumber ketidakbahagiaan kita. Ada beberapa jenis pikiran-pikirann yang keliru, diantaranya:
a. Mengabaikan hal-hal yang positif
b. Terpaku pada yang negative
c. Terlalu cepat menggeneralisasi
Secara ringkas, Ellis mengatakan bahwa ada tiga keyakinan irasional, yaitu:
a. “saya harus punya kemampuan sempurna, atau saya akan jadi orang yang tidak berguna”
b. “orang lain harus memahami dan mempertimbangkan saya, atau mereka akan menderita”
c. Kenyataan harus member kebahagiaan pada saya, atau saya akan binasa”
- C Adalah consequence, yaitu konsekuensi-konsekuensi berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti panik, dendam dan amarah karena depresi yang bersumber dari keyakinan-­keyakinan kita yang keliru.
Bagaimana gangguan emosional dipertahankan?
Gannguan emosional itu dipertahankan oleh putusan-putusan yang tidak logis atau irrasional yang terus-menerus diulang oleh individu., seperti ”Aku benar-benar bersalah karena bercerai”, ” Aku orang tak berharga”, ”Aku merasa kesepian dan tertolak, dan ini adalah bencana yang mengerikan’. Ellis menyatakan bahwa ”Anda merasakan sebagaimana yang anda pikirkan”. reaksi-reaksi emodional yang terganggu seperti depresi dan kecemasan diarahkan dan dipertahankan oleh sistem keyakinan yang meniadakan diri, yang berlandaskan gagasan-gagasan yang irasional yang telah dimasukkan oleh individu kedalam dirinya.
Setelah A-B-C menyusul D, D adalah penerapan metode ilmiah untuk membantu para klien menantang keyakinan-keyakinannya yang irasional yang telah mengakibatkan ganggguan-gangguan emosi dan tingkah laku. Karena prinsip-prinsip logika bisa diajarkan, prinsip-prinsip ini bisa digunakan untuk menghancurkan hipotesis-hipotesis yang tidak realistis dan tidak bisa diuji kebenarannya. Metode logikoempiris ini bisa membantu para klien menyingkirkan ideologi –ideologi yang rusak.
Ellis menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus me­lawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psi­kologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.
TRE berasumsi bahwa karena keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai irasional orang-orang berhubungan secara kausal dengan gangguan-gangguan emosional dan behavioralnya, maka cara yang paling efisien untuk membantu orang-orang itu dalam membuat perubahan-perubahan kepribadiannya adalah mengonfrontasikan mereka secara langsung dengan filsafat hidup mereka sendiri,menerangkan kepada mereka bagaimana gagasan-gagasan mereka sampai menjadikan mereka terganngu, menyerang gagasan-gagasan irasional mereka diatas dasar-dasar logika, dan mengajari mereka bagaimana berfikir secara logis dan karenanya mendorong mereka untuk mampu mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan irasionalnya. Jadi, TRE mengonfrontasikan (merundingkan) pada klien dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya serta menyerang, menantang, mempertanyakan, dan membahas keyakinan-keyakinan yang irasional itu.
5. Kerelaan Menerima Diri Sendiri
Ellis berulang kali menegaskan bahwa betapa pentingnya “kerelaan menerima diri-sendiri”. Dia mengatakan, dalam RET, tidak seorang pun yang akan disalahkan, dilecehkan, apalagi dihukum atas keyakinan atau tindakan mereka yang keliru. Kita harus menerima diri sebagaimana adanya, me­nerima sebagaimana apa yang kita capai dan hasilkan. Dia mengkritik teori-teori yang terlalu menekankan kemuliaan pribadi dan ketegaran ego serta konsep-konsep senada lainnya.
Menurut Ellis, memang ada alasan-alasan tertentu kenapa orang mengedepankan diri atau egonya, yaitu kita ingin menegaskan bahwa kita hidup dan dalam keadaan baik-baik saja, kita ingin menikmati hidup, dan lain se­bagainya. Akan tetapi, jika hal ini dilihat lebih jauh lagi, ternyata mengedepankan diri atau ego sendiri malah me­nyebabkan ketidaktenangan, seperti yang diperlihatkan oleh keyakinan-keyakinan irasional berikut ini:
a. Aku ini punya kelebihan atau tak berguna.
- Aku ini harus dicintai atau orang yang selalu diperhatikan
- Aku harus abadi.
- Aku harus jadi orang baik atau orang jahat.
b. Aku harus membuktikan diriku.
- Aku harus mendapatkan apa pun yang saya inginkan.
Ellis berpendapat bahwa evaluasi-diri yang keterlaluan akan menyebabkan depresi dan represi, sehingga orang akan mengingkari perubahan. Yang harus dilakukan manusia demi kesehatan jiwanya adalah berhenti menilai-nilai diri sendiri. Ellis tampaknya agak skeptis akan kebe­radaan diri yang “sebenarnya” seperti yang diyakini Homey atau Rogers . Dia sangat tidak sepakat dengan gagasan tentang adanya konflik antara diri yang teraktualisasi dengan citra diri yang dituntut masyarakat. Menurutnya, diri me­nurut seseorang dan diri menurut masyarakat bukannya saling bertentangan, sebaliknya saling topang.
Dia juga tidak sepakat dengan gagasan yang menyata­kan bahwa ada kesatuan transpersonal daIam diri atau jiwa. Agama Buddha, umpamanya, bisa berjalan baik tanpa adanya gagasan ini.
Dia juga tidak percaya akan adanya alam bawah sadar mistis seperti yang diajarkan berbagai tradisi atau psikologi transpersonal yang dikemukakan ilmu psikologi. Dia menganggap keadaan kejiwaan semacam ini lebih bersifat tidak otentik ketimbang transenden. Di lain pihak, dia menganggap pendekatannya lahir dari tradisi kuno kaum Stoik dan didukung oleh pemikiran filo­sofis, terutama pemikiran Spinoza. Dia juga melihat adanya kemiripan tertentu antara pendekatannya dengan eksisten­sialisme dan psikologis eksistensial. Artinya, pendekatan apa pun yang menempatkan tanggung jawab ke pundak diri individual beserta keyakinan yang dipegangnya lebih mirip dengan pendekatan RET-nya Ellis ini.
B. PROSES TERAPEUTIK
1. Tujuan-tujuan Terapeutik
Adapun tujuan TRE dalam konseling terutama adalah menghilangkan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, ketidakyakinan diri. Dan mencapai perilaku rasional, kebahagiaan, dan aktualisasi diri. (Andi Mappiere, 2009: 57)
Ellis menunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam TRE yang diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik. Menurut Ellis, tujuan utama psikoterapis yang lebih baik adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka. (Dewa Ketut Sukardi, 2002: 100)
Inti dari proses terapeutik TRE ini adalah penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbahagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional. Proses terapinya sebagian besar adalah proses belajar-mengajar.
2. Fungsi dan Peran Terapis
Aktivitas-aktivitas terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu membantu klien membebasskan diri dari gagasanp-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah manjadikan klien suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang irasional dan tahayul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayaannya.
Terapi dilihatnyfa sebagai usaha untuk mendidik kembali (reeducation), jadi terapis bertindk sebagai pendidik, seperti dengan memberikan tugas yang harus dilakukan klien, serta mengajarkan strategi tertentu untuk memperkuat proses berfikirnya. Proses ini dilakukan dengan pendekatan langsung (directive) dan atau pendekatan eklektik. Manusia sebagai makhluk berfikir dapat menhilangkan atau mengurangi gangguan emosi atau sesuatu yang menimbulkan perasaan tidak bahagia, dengan belajar berfikir rasional. Terapi bertujuan menghilangkan cara berfikir yang tidak logis, yang tidak rasional dan menggantikannya dengan sesuatu yang logis dan rasional.untuk menungkinkan hal ini, terapis perlu memahami dunia klien, perilaku klien dari sudut klien itu sendiri, memahami perilaku klien yang tidak rasional tanpa terlibat dengan perilaku tersebut sehingga menungkinkan terapis dapat mendorong klien agar klien menghentikan cara berfikir yang tidak rasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik. Yaitu:
a. Langkah pertama: adalah menunjukkan kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya, menunjukkan bagaimana klien mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah memasukkan banyak “keharusan”, “sebaiknya”, dan “semestinya”. Jadi, langkah ini peran terapis adalah menaydarkan klien bahwa gangguan atau masalah yang dihadapinya disebabkan oleh cara berfikirnya yang tidak logis.
b. Langkah kedua: adalah membawa klien ke tahap kesadaran dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus-menerus berfikir secara tidak logis dan dengan mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengalahkan diri dan yang mengekalkan pengaruh masa kanak-kanak. Dengan kata lain, karena klien tetap mereintroktrinasi diri, maka dia bertanggung jawab atas masalah-masalahnya sendiri. Maka dari itu dalam TRE terapis berperan untuk menunjuk dan menyadarkan klien, bahwa emosional yang selama ini dirasakan akan terus menghantui apabila dirinya akan tetap berfikir secara tidak logis. Oleh karena itu, klien harus memikul tanggung jawab secara keseluruhan terhadap masalahnya sendiri.
c. Langkah ketiga: yakni berusaha agar klien memperbaiki pikitan-pikirannya yang meninggalkan gagasan yang irasionalnya. TRE berasumsi bahwa keyakinan-keyakinan yang tidak logis itu berakar dalam sehingga biasanya klien tidak bersedia mengubahnya sendiri. Terapis berperan mengajak klien menghilangkan cara berfikir dan gagasan-gagasan yang tidak rasional. (Dewa Ketut Sukardi. 2002: 102) Terapis mempergunakanteknik langsung dan teknik mendorong untuk membantu klien membuang pikiran-pikiran tidak logis, tidak rasional. Dalam hal ini dibutuhkan peran aktif terapis. (Singgih D Gunarsa, 2003:237)
d. Langkah keempat: adalah menantang klien untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan-keyakinan yang irasional. Diharapkan terapis menyerang inti pikiran irasional dan mengajari klien bagaimana menggantikan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang irasional dengan yang rasional.
TRE adalah suatu proses edukatif, dan tugas utama terapis adalah mengajari klien mengajari klien-klien cara-cara memahami dan mengubah diri. Ellis memberikan gambaran tentang apa yang dilakukan oleh pempraktek TRE:
a. mengajak klien untuk berfikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasioal yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku.
b. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya.
c. Menunjukkan kepada klien ketidalogisan pemikirannya.
d. Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien.
e. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.
f. Menggunakan absurnitas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien.
g. Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris.
h. Mengajari klien bagaimana menerapkan penerapan ilmiah pada cara berfikir sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekarang maupun pada masa yang akan dating, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berprilaku yang merusak diri.
3. Pengalaman Klien dalam Terapi
Proses terapeutik difokuskan kepada pengalaman klien pada saat sekarang. Sama halnya dengan terapi-terapi client-centered, dan eksistensial, TRE menitik beratkan pengalaman-pengalaman disini dan sekarang dan kemampuan klien untuk mengubah pola-pola berfikir dan beremosi yang diperoleh pada masa kanak-kanak.
Pokok permasalahannya adalah bagaimana agar klien bisa menjadi sadar atas pesan-pesan yang mengalahkan diri dan agar klien menantangnya. Ellis mengatakan bahwa klien acap kali bisa membaik bahkan meskipun dia tidak pernah memahami sumber atau perkembangan masalah-masalahnya.
Pengalaman utama klie dalam TRE adalah mencapai pemahaman. TRE berasumsi bahwa pencapaian pemahaman emosional (emosional insight) oleh klien atas sumber-sumber gangguan yang dialaminya adalah bagian yang sangat penting dari proses terapeutik. Ellis mendefenisikan pemahaman emosional sebagai “mengetahui ataumelihat penyebab-penyebab masalah dan bekerja, dengan keyakinan dan bersemangat, untuk menerapkan pengetahuan itu pada penyelesaian masalah-masalah tersebut”. Jadi, TRE menitikberatkan penafsiran sebagai suatu alat terapeutik.
TRE mengungkapkan tiga taraf pemahaman. Untuk menglukiskan ketiga taraf pemahaman, maka kita contohkan seorang klien pria yang berusaha mengatasi rasa takutnya terhadap wanita. Taraf pertama: klien menjadi sadar bahwa ada antesenden tertentu yang menyebabkan dia takut pada wanita. Taraf kedua: klien mengakui bahwa dia masih marasa terancam oleh wanita dan tidak nyaman berada di atara wanita karena dia tetap mempercayai dan mengulang-ulang, keyakinan-keyakinan irasional yang telah diterimanya. Taraf ketiga: terdiri atas penerimaan klien bahwa dia tidak akan membaik, juga tidak akan berubah secara berarti kecuali jika dia berusaha sungguh-sungguh dan berbuat untuk mengubah keyakinan-keyakinan irasionalnya dengan benar-benar, melakukan hal-hal yang bersifat kontropropaganda. Yang penting adalah bahwa klien terlibat dalam kegiatan yang akan menghancurkan penyangga-penyangga ketakutannya yang irasional.
TRE menekankan pekmahaman-pemahaman taraf kedua dn ketiga, yakni pengakuan klien bahwa dirinya yang sekarang mempertahankan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang semula menganggu dan bahwa dia sebaiknya menghadapinya secara rasional-emotif, memikirkannya, dan berusaha menghapuskannya.
4. Hubungan antara Terapis dan Klien
Menurut Ellis, para pempraktek rasional-emotif cenderung tampil imformal dan menjadi dirinya sendiri. Mereka sangat aktif dan direktif serta sering memberikan pandangan-pandangan sendiri tanpa ragu. Mereka bisa menjadi objektif, dingin, dan hamper tidak manunjukkan kehangatan kepada sebagian besar kliennya.mereka bisa bekerja dengan baik dalam menangani para klien yang secara pribadi, melainkan membantu klien dalam mengatasi gangguan-gangguan emosionalnya.
Hubungan pribadi atau kehangatan dan afeksi antara terapis dank lien tidak dipandang sangat penting dalam TRE, tidak berarti bahwa transferensi tidak dianggap signifikan. Ellis percaya bahwa hubungan antara terapis dan klien merupakan bagian yang berarti dari proses terapeutik, tetapi arti itu berbeda dengan arti yang terdapat dalam sebagian besar psikoterapi yang lainnya. Ellis mengatakan bahwa TRE menekankan pentingnya peran terapis sebagai model bagi para klien. Selama pertemuan terapi, terapis memainkan peran sebagai model yang tidak terganggu secara emosional dan yang hidup secara rasional. Terapis juga menjadi model orang yang berani bagi klien dalam arti dia secara langsung mengungkapkan system-sistem keyakinan klien yang irasional tanpa takut kehilangan rasa suka dan persetujuan dari klien.
Oleh karena itu TRE menekankan bahwa bantuan bagi klien bisa diperoleh dari terapis yang sangat terlatih dan rasional. Lebih dari itu, TRE menekankan toleransi penuh dan penghormatan positif tanpa syarat dari terapis terhadap kepribadian klien dalam arti terapis menghindari sikap menyalahkan klien. Terapis secara sinambung menerima klien sebagai manusia yang pantas dihormati, karena keberadaannya, dank arena apa yang dicapainya.
C. PENERAPAN: TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR-PROSEDUR TERAPEUTIK
1. Teknik-Teknik dan Prosedur-prosedur Utama TRE
Teknik TRE yang esensial mengajarkan secara ektif-direktif. Segera setelah terapi dimulai, terapis memainkan peran sebagai pengajar yang aktif untuk mereduksi klien. Terapis menunjukkan penyebab ketidaklogisan gangguan-gangguan yang dialami klien dan verbalisasi-verbalisasi diri yang telah mengekalkan gangguan-gangguan dalam hidup klien.
TRE adalah suatu proses didaktik dan karenya menekankan metode-metode kognitif. Ellis menunjukkan bahwa penggunaan metode-metode terapi tingkah laku seperti pelaksanaan pekerjaan rumah, desensitisasi, pengondisian operan, hipnoterapi dan latihan asertif cenderung digunakan secara aktif-direktif dimana terapis lebih banyak berperan sebagai guru dibandingkan sebagai pasangan yang berelasi secara intens.
Teori yang menopang pelaksanaan pekerjaan rumah dalam TRE adalah bahwa karena orang-orang biasa mengatakan kepada diri sendiri kalimat-kalimat irasional yang menciptakan gangguan-gangguan emosional maka mereka mengondisikan diri dengan proses-proses berfikir dan pembayangannya sendiri. Jadi mereka sering menciptakan suatu ramalan pemenuhan hasrat diri yang negatif dan menjadi sungguh-sungguh gagal karena mereka selalu lebih dahulu mengatakan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka akan gagal.
Prosedur-prosedur pekerjaan rumah dirancang untuk membantu para klien agar mereka mengalami kecemasan yang bisa ditembuss oleh mereka bagi pertumbuhan pribadi. Sebagaimana dikatakan Ellis bahwa ”pelaksanaan pekerjaan rumah TRE biasanya merupakan cara-cara untuk mendorong mereka agar menjadi hedonis-hedonis jangka panjang: untuk tetap dengan kesakitan-kesakitan mereka sekarang...bahkan kadang-kadang memperhebat agar akhirrnya menghapuskan atau memusnahkan tingkah laku mengalahkan diri”. Menurut Ellis, para klien telah mempraktekkan verbalisasi-verbalisassi diri yang menimbulkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku dan pelaksanaan pekerjaan rumah mendorong mereka untuk mempraktekkan pengondondisian balik dengan seperangkat keyakinan yang rasional.
Dalam membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut :
a. Terlibat dalam permainan peran dengan klien. Dalam teknik ini, terapis tidak menutup diri untuk dijadikan model okleh pasiennya, sesuatu yang dapat terjadi melalui hubungan antarperorangan, dalam hal ini antara terapis dengan pasiennya. Hal ini terjadi karena adan pandangan dan penilaian positif pada klien terhadap terapisnya. Bermain peran dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu pasien memainkan peran terhadap hal-hal yang sudash lewat atau terhadap hal-hal yang akan datang. Yang ditekankan dalam bermain peran ini adalah perilaku nyata, jadi bukan hanya dilakukan melalui ucapan atau uraian verbal. Baermain peran sangat efektif bagi pasien yang mengalami hambatan emosi dan mengganggu hubungan sosialnya.
b. Menggunakan humor. Dalam teknik ini terapis menyerang ketidaklogisan klien dengan hal-hal yang tak disadarinya, dalam artian penyerangan tersebut seperti tidak menyerang, karena dia berbentuk humor, namun humor disini lansung menyerang ketidaklogisan klien sehingga ia sadar kalau dia berfikir tidak logis.
c. Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun. Dalam teknik ini. Terapis menyerang ketidaklogisan berfikir klien berfikir klien dan membawa klien kearah berfikir logis dan empiris.
d. Membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang spesifik bagi tindakan.
e. Bertindak sebagai model dan guru. Dalam teknik ini terapis diberi kebebasan untuk berbicara serta menunjukkan kepada klien bagaimana ketidaklogisan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosional kepada klien.
f. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi.
g. Menggunakan "terapi kejutan vebal" atau sarkasme yang layak untuk mengkonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis.
h. Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.
i. Manusia berfikir, berperasaan dan bertindak secara serentak. Kaitan yang begitu erat menyebabkan jika salah satu saja menerima gangguan maka yang lain akan terlibat sama. Jika salah satu diobati sehingga sembuh, dengan sendirinya yang dua lagi akan turut terobati. Dalam hal ini, misalnya seorang klien datang ke terapis untuk mengatasi masalahnya, terapis mengajari atau membantu klien keluar dari pikiran irasionalnya, sehingga klien bisa berfikir rasional. Jika klien bisa berfikir rasional, maka dia akan bisa memecahkan masalah yang datang berikutnya dengan pikiran yang rasional pula.
2. Penerapan pada Terapi Individual
TRE yang diterapkan pada penganganan seorang pada umunya dirancang sebagai yang relatif singkat. Ellis menyatakan bahwa orang yang mengalami emosional yang berat sebaiknya menjalani terapi individual maupun kelompok dalam periode tujuh bulan sampai satu tahun agar mereka memiliki kesempatan untuk mempraktekkan apa yang sedang mereka pelajari.
Ellis mengatakan bahwa kebanyakan klien yang ditanggani secara individual memiliki satu sassion setiap minggunya dengan jumlah antara lima sampai lima puluh sassion. Pertama klien mulai mendiskusikan masalah-masalah yang paling menekan dan menjabarkan perasaan-perasaan yang paling membingungkan dirinya. Kemudian terapis mencari peristiwa-peristiwa pencetus yang mengakibatkan perasaan-perasaan yang membingungkan itu. Terapis juga mengajak klien untuk melihat keyakinan-keyakinan irasional yang diasosiasikan dengan kejadian-kejadian pencetus dan mengajak klien untuk mengatasi keyakinan-keyakinan irasionalnya dengan menugaskan kegiatan-kegiatan pekerjaan rumah yang akan membantu klien untuk secara langssung melumpuhkan gagasan-gagasan irasionalnya itu serta membantu klien dalam mempraktekkan cara-cara hidup yang rasional. Setiap minggu terapis memeriksa kemajuan kliennya dan secara sinambung belajar mengatasi keyakinan-keyakinan irrasional sampai ia lebih dari sekadar menghilangkann gejala-gejala, yakni sampai mereka belajar cara-cara hidup yang lebih toleran dan rasional.
3. Penerapan pada Terapi Kelompok
TRE sangat cocok untuk diterapkan pada terapi kelompok karena semua anggota diajari untuk menerapkan prinsip-prinsip TRE pada rekan-rekannya dalam setting kelompok. Ellis telah mengembangkan suatu bentuk terapi kelompok yang dikenal dengan nama A Weekend of Rational Encounter yang memanfaatkan metode-metode dan prinsip-prinsip TRE. Terapi kelompok ini dibagi kedalam dua bagian utama. Bagian pertama terdiri atas 14 jam terapi rational-encounter tanpa berhenti, yang diikuti oleh waktu istirahat selama delapan jam. Bagian kedua mencakup terapi 10 jam lagi. Pada tahap-tahap permulaan, prosedur-prosedur emotif-evokatif tidak digunakan, dan tidak pula diusahakan pemecahan masalah dan pembuatan putusan. Setelah terapi berjalan lancar, prinsip-prinsip logika berfikir rasional yang biasa digunakan dalam terapi individual, diterapkan pada kelompok.
D. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TRE
  1. Kelebihan TRE
a. Pendekatan ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan demikian, perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
b. Kaedah berfikir logis yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi masalah yang lain.
c. Klien merasa dirinya mempunyai keupayaan intelaktual dan kemajuan dari cara berfikir.
  1. Kelemahan TRE
a. Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logis dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu cerdas otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
b. Ada sebagian klien yang begitu terpisah dari realitas sehingga usaha untuk membawanya ke alam nyata sukar sekali dicapai.
c. Ada juga sebagian klien yang memang suka mengalami gangguan emosi dan bergantung kepadanya dalam hidupnya, dan tidak mau berbuat apa-apa perubahan lagi dalam hidup mereka.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inti dari proses terapeutik TRE ini adalah penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbahagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional
Tujuan dari Rational Emotive Theory adalah:
1. memperbaiki dan mengubah segala perilaku yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.
2. Menghilangkan gangguan emosional yang merusak
3. Untuk membangun Self Interest, Self Direction, Tolerance, Acceptance of Uncertainty, Fleksibel, Commitment, Scientific Thinking, Risk Taking, dan Self Acceptance Klien.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik yaitu :
  1. Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku.
  2. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya.
  3. Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya.
  4. Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien.
  5. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.
  6. Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien
  7. Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris, dan
  8. Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara bepiki sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan iasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekaang maupun masa yang akan datang, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku yang merusak diri.
Kelebihan TRE:
a. Pendekatan ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan demikian, perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
b. Kaedah berfikir logis yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi masalah yang lain.
c. Klien merasa dirinya mempunyai keupayaan intelaktual dan kemajuan dari cara berfikir.
Kelemahan TRE:
a. Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logis dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu cerdas otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
b. Ada sebagian klien yang begitu terpisah dari realitas sehingga usaha untuk membawanya ke alam nyata sukar sekali dicapai.
c. Ada juga sebagian klien yang memang suka mengalami gangguan emosi dan bergantung kepadanya dalam hidupnya, dan tidak mau berbuat apa-apa perubahan lagi dalam hidup mereka.
B. SARAN
Dari hasil makalah yang penulis buat ini, maka masih banyak kekurangannya baik dari sisi isi maupun dari sumber-sumber yang diambil, oleh karena itu untuk kelanjutannya penulis mengharapkan pembaca dapat meningkatkan dan mengembangkan lagi mengenai hal ini.

DAFTAR PUSTAKA
- Mappiare, Andi AT, 2009, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
- Corey, Gerald. 2009. Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
- Sukardi, Dewa Ketut. 2000. Pengantar Pelaksanaan Progam Bimbingan Dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta
- http://www.scribd.com/doc/25089215/Terapi-Rasional-Emotif#fullscreen:on

Kamis, 02 Desember 2010

KRITERIA PRIORITAS PENDAMPING


-->
KRITERIA PRIORITAS PENDAMPING
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.
Apabila seseorang membangun rumah, tentu saja dia akan mengadakan beberapa pilihan. Mulai dari lokasi bangunan yang akan didirikan, sampai kualitas bahan bangunan sampai kemudian menjadi sebuah bangunan yang utuh. Demikianlah kita mengadakan seleksi dari rumah yang sekedar menaungi kehidupan di dunia. Apalagi kalau kita ingin membangun sebuah rumah tangga yang tidak hanya menaungi kita di kehidupan dunia, namun kehidupan anak-anak keturunan kita sampai kelak hari kiamat.
Oleh karena itu kita ingin berbagi-bagi ilmu bagaimana memilih jodoh menurut agama islam. Zuyyina lin naasi khubbus syahawati minan nisaa ( manusia apapun jenisnya selama masih berkaki dua secara fitrah dihiasi perasaan cinta kepada perempuan, begitu juga sebaliknya). Karena cinta akan merubah segala-galanya, ada yang mendorong ke arah kebaikan namun ada juga yang mendorong kepada dosa. Maka disini kita akan membahas cinta dalam artian positif yang membawa kebaikan sampai kiat-kiat mencari calon pendamping hidup yang harus kita cintai.
Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya? Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita simak pemaparan yang penulis buat dimakalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
KRITERIA PRIORITAS PENDAMPING
Ketika seseorang telah berencana untuk kawin, maka ia diperkenankan bahkan dianjurkan untuk mengenal secara baik calon pasangannya. Seorang sahabat Nbi menyampaikan kepada beliau bahwa dia berencana kawin. Nabi bertanya: “apakah engkau pernah melihatnya?”. Dia menjawab “belum”. Maka Nabi SAW memerintahkan pergi melihat sambil bersabda, “itu dapat lebih menjadikan perkawinan kalian menjadi langgeng”.[1]
Cinta dalam artian positif dapat memberi keindahan, memberi energi untuk berjuang, dan tentunya cinta membutuhkan pengorbanan. Seseorang yang lemah akan menjadi kuat, yang penakut menjadi pemberani, yang jauh akan terasa dekat karena cinta.[2]
Alangkah indahnya kalau cinta ini disalurkan kepada cinta agama. Sholat terasa indah, puasa terasa nikmat, tahajud jadi penenang hati, zakat terasa indah. Persis kalau kita cinta kepada gadis atau pemuda pujaan hati, meski tampang pas-pasan (kalau gak ingin disebut jelek) karena cinta akan kelihatan cantik atau tampan. Meski rumahnya jauh, gunungpun kan kudaki, lautpun kuseberangi untuk menemui sang pujaan hati.
Itulah cinta sanggup membuat orang berkorban, melahirkan energi, menambah keindahan dalam kehidupan. Namun di zaman sekarang orang sering salah jalan bagaimana memilih jodoh untuk membangun rumah tangga yang bahagia. Jangan lupa, membangun rumah tangga bukan untuk kehidupan 1 atau 2 bulan, 1 atau 2 tahun, bahkan bukan cuma untuk kehidupan dunia! Namun untuk kehidupan akhirat juga. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam memilih jodoh, diperlukan penelitian dan pengamatan yang mendalam.[3]
Menurut agama nikahilah seseorang karena wajah, harta, nasab, dan agamanya (ada 4 kriteria memilih jodoh).
A. Kriteria Memilih Calon Istri
Istri yang bisa membahagiakan suami merupakan idaman, dambaan, dan impian setiap lelaki.[4] Oleh karena itu mencari calon istri bukanlah perkara yang sepele, bahkan ia merupakan perkara yang sakral yang hendaknya setiap lelaki berusaha sebisa mungkin untuk meraih calon istri yang terbaik. Barangsiapa yang salah melangkah tatkala memilih calon istri maka ia akan menyesal dengan penyesalan yang sangat dalam.
Dalam buku Potret Wanita Shalihah, ada beberapa criteria wanita ideal, yaitu:[5]
  1. memiliki harta kekayaan dan ilmu pengetahuan
Kekayaan wanita yang terpuji adalah kekayaan yang disertai dengan takwa. Harta yang tidak disertai dengan keshahehan dan taqwa, akan mnyebabkan seorang wanita menjadi arogan, berbuat sewenang-wenang dan bersikap jahat terhadap suaminyaserta menimbulkan kerusakan dalam rumah tangganya. Sebagaimana Allah mengingatkan dalam firmannya:
“ sesungguhnya manusia benar-benar melampau batas karena dia melihat dirinya serba cukup” (QS. Al-‘Alaq (96): 6-7)
  1. lingkungan keluarga terhormat (nasab)
Kehormatan wanita juga diukur dari nasab keluarganya. Bila kita berasal dari bibit (nasab) yang baik, maka diharapkan ia pun akan memiliki sikap dn perbuatan yang baik serta anak keturunan yang pula nantinya. Rasulullah SAW bersabda:
“pilihlah yang baik untuk benih kamu, karena wanita itu melahirkan (anak) seperti saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudasra perempuannya”. (HR Ibnu Adi dan Ibnu Asakir)
  1. wanita yang cantik luar dalam
kecantikan adalah anugerah ilahi yang harus disyukuri oleh setiap pemiliknya, karena wajah yang cantik dan dan menawan dari seoran wanita selalu menjadi pusat perhatian dari setiap pria diberbagai belahan dunia, sejak zaman dahulu kala.
Sebagaimana firman Allah:
“dijadikan indah pada (pandanga) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading.” (QS. Ali-Imran (3): 14)
Setiap pria normal pasti akan menyukai wanita yang berparas cantik. Namun, menurup pandangan Islam, kecantikan fisik saja tidak akan bertahan lama. Karena itu diperlukan kecantikan dari dalam (inner beauty) berupa sifat dan kepribadian yang baik, yaitu kecantikan yang dihiasi dengan sikap taqwa. Allah mengingat manusia dalam firmannya:
“sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari pada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu (cantik).” (QS. Al-Baqarah (2): 221)
Memang laki-laki menyukai keindahan. Tetapi harus kita pahami arti dari sebuah keindahan.[6] Keindahan tiu bias muncul pada semua bentuk wajah wanita. Karena keindahan iru meuncul dari perpaduan antara serasi dan keselarasan. Wanita yang serasi dan selaras mudah menjadi orang yang indah.
Seorang wanita diharamkan menampakkan keindahan tubuhnya kecuali yang niasa tampak, yakni wajah dan kedua telapak tangannya.[7] Sebagaimana Firman Allah:
“Katakanlah bagi wanita-wanita yang beriman agar mereka menahan pandangannya memelihata kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali pada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka.” (QS. An-Nuur: 31)
  1. keagamaan yang baik
Wanita yang shalehah adalah idaman setiap pria yang shalelh pula. Bahkan pria bejat sekalipun sebenarnya menginginkan wanita yang shalehah. Dengan dmikian, memililki istri yang shalelhah, istri yang mampu memahami ajaran agama dan beakhlak mulia, merupakan permata hidup yang tak ternilai harganya. Karena itu Rasulullah SAW bersabda:
“ dunia ini hanya perhiasan (tempat kesenangan), dan sebaik-baik perhiasan (kesenangan) dunia adalah istri yang shalehah.” (HR Muslim)
Terdapat banyak kritaria yang dituntut dari diri wanita, dan dianjurkan menikahi wanita yang memiliki berbagai criteria tersebut. Diantara kriterianya adalah:[8]
  1. menaati agama dan sangat mencintainya
  2. tidak mengenal kata-kata yang tercela
  3. bersabar dan tidak bersedih
  4. berakhlak mulia
  5. dia tidak meremehkan dosa
  6. tidak menceritakan tentang wanita lainnya kepada suaminya
  7. tidak memakai minyak wangi ketika keluar dari rumahnya dan memelihara hijabnya
  8. menaati suaminya
Muhammad Utsman Al-Kasyi dalam Al-Mai’ah Al-Mitsaliyah fi A’yun Ar-Rijal-nya, mengemukakan sedikitnya sepuluh criteria atau cirri-ciri wanita/ istri ideal yang dikehendaki oleh para tokoh sukses, yaitu;[9]
1. wanita yang melahirkan suaminya untuk kedua kali, ketiga kali dan seterusnya. Maksudnya wanita yang mampu memberi inovatif dan pandai melakukan suatu perubahan.
2. wanita yang membantu suaminya untuk mewujudkan dan mengegolkan cita-cita nya.
3. membantu suami untuk mewujudkan cita-cita baru setelah cita-cita yang pertama tercapai.
4. mendampingi suami sampai cita-cita tercapai dan terwujud.
5. bias mengembuskan dan membangkitkan roh semangat dan harapan pada diri suaminya.
6. tidak membuat suami frustasi ketika ia sedang berada dipuncak optimisme dalam menggapai cita-citanya.
7. memberi waktu/peluang kepada suami untuk tenggelam dalam pekerjaan sedang digelutinya.
8. pandai memberi kritik yang kontruktif dengan baik kepada suami.
9. pandai mengatur waktu untuk tidak melakukan interversi disaat-saat tertentu.
10. menjadi sandaran terbaik bagi suami disaat ia menghadapi masa-masa krisis.
Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya:[10]
1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun.
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)
Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman :
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)
Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya :
“Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)
Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan dunia.“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” … kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.
Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :
a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan.
b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.
3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.
Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis :
Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda :“Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”
4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.
Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas.
Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya.
Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.
B. Kriteria Memilih Calon Suami
1. Islam
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)
2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)
Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)
Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.
Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu :
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)
Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki :
“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”
Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.
Kriteria suami yang shaleh adalah suami yang selalu berusaha melaksanakan seluruh kewajiban secara baik dan bertanggung jawab. Adapun kewajiban-kewajiban tersebut adalah,[11]
1. Memberikan nafkah lahir berupa sandang, pangan, dan papan sesuai kemampuan, sebagaimana firman Allah swt.,
“Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (isteri) dengan cara yang baik.?” (Q.S. Al-Baqarah: 233)
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.?” (Q.S. Ath-Thalaaq 65: 6)
Memberikan nafkah batin Salah satu kebutuhan manusia adalah terpenuhinya hasrat biologis. Hubungan biologis akan menjadi perekat pernikahan apabila dilakukan atas dasar saling membutuhkan dan dilakukan dengan cinta. Allah swt. menetapkan bahwa suami berkewajiban memenuhi nafkah batin isteri.
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki.?” (Q.S. Al Baqarah: 223)
Ayat ini sifatnya perumpamaan, Allah swt. mengumpamakan istri bagaikan kebun tempat bercocok tanam sementara suami diumpamakan sebagai orang yang akan menanam benih, maka datangilah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki.
Ayat ini menegaskan bahwa dalam melakukan hubungan intim, gaya apapun boleh dilakukan asal keduanya (suami-isteri) merasa nyaman.
Yang dilarang hanya satu, yaitu tidak boleh melakukan hubungan intim lewat dubur sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ahmad dan Ash Habus-Sunan dari Abu Hurairah.
“Terlaknatlah laki-laki yang mendatangi perempuan pada duburnya.?
Memberi Bimbingan pada Keluarga Suami mempunyai status sebagai pemimpin dalam keluarga, karenanya ia berkewajiban memberi nafkah lahir, batin, dan memberi bimbingan agama kepada istri dan anaknya.”
2. Kaum laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri), oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (suami) atas sebagian yang lain (istri), dan karena mereka (suami) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.? (Q.S. An-Nisaa 4: 34)
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Q.S.Thaahaa: 132)
3. Memperlakukan istri secara baik dan menjaga perasaannya Rasulullah saw. menilai bahwa suami yang terbaik baik adalah yang paling baik pada istrinya.
Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaqnya, dan sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada istrimu.? (H.R. Tirmidzi) ...dan bergaullah dengan mereka secara baik...? (Q.S. An-Nisaa :19)
4. Hendaklah kamu (suami) memberi makan istri apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian kepadanya bila engkau berpakaian, dan jangan engkau pukul mukanya, dan jangan engkau jelekkan dia, dan jangan engkau jauhi melainkan di dalam rumah. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Nasa'i, dan yang lainnya)
Apabila empat kewajiban ini Anda kerjakan dengan sebaik-baiknya, insya Allah Anda akan menjadi suami yang ideal bagi istri dan menjadi ayah yang jadi kebanggaan anak-anaknya.
Dari sumber lain juga mengungkapkan beberapa criteria tambahan, yaitu:[12]
  1. BeragamaIslam
“…Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman”(Q.S.An-Nisaa’:141)
“Bila datang seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya, hendaklah kamu nikahkan dia, karena kalo engkau tidak mau menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.”(H.R. Tirmidzi dan Ahmad)
  1. Menjauhi Kemaksiatan
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah atas perintah Allah kepada mereka dan selalu taat pada apa yang diperintahkan.”(QS At-Tahiriim Ayat:6)
Dalam hadits:“Tiga golongan yang Allah haramkan masuk syurga yaitu : peminum minuman keras, orang yang durhaka terhadap ibu bapaknya, dan orang yang berbuat dayyuts yang menanamkan perbutan dosa kepada keluarganya.”(H.R. Nasa’i)
  1. Kuat Semangat Jihadnya
“Orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”(Q.S. Ath-Thuur ayat 21)
  1. Dari Keluarga Yang Shalih dalam Hadits :
Dari Rifa’ah bin Rafi’, sesungguhnya Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar RA : “Kumpulkan kaummu kepadaku”, lalu ia kumpulkan mereka. Setelah mereka tiba di depan pintu Nabi SAW, ‘Umar masuk kepada beliau, lalu ujarnya: “Kaumku sudah kukumpulkan kepada Tuan”. Orang-orang Anshar mendengar kejadian ini, lalu mereka berkata: “Wahyu telah turun tentang Quraisy”. Sesaat kemudian datanglah orang-orang yang mendengar dan menyaksikan apa yang diucapkan kepada mereka, lalu Nabi SAW keluar kepada mereka seraya sabdanya: “Apakah ada orang lain di tengah kalian?” Mereka menyahut: “Ada, di tengah kami ada teman-teman setia kamu, keponakan-keponakan kami, dan maula-maula (keluarga dekat) kami”. Nabi SAW bersabda: “Teman-teman setia kita, keponakan-keponakan kita, dan maula-maula kita adalah bagian dari kita sendiri. Harap kalian dengarkan bahwa orang-orang yang menjadi teman-teman dekatku diantara kalian adalah orang-orang bertaqwa; jika kalian seperti mereka, kalian termasuk golongan tersebut; jika tidak, kalian harus pikirkan, sebab pada hari qiamat kelak orang lain akan datang kepadaku dengan membawa amal-amal mereka, tetapi kalian datang dengan membawa bekal lain, lalu kalian ditolak…”(H.R. Bukhari, Hadits Hasan)
  1. Taat Kepada Orang Tuanya, Dalam Hadits:
Dari Mu’awiyah bin Jahimah, sesungguhnya Jahimah berkata: “Saya datang kepada Nabi SAW, untuk minta izin kepada beliau guna pergi berjihad, namun Nabi SAW bertanya: “Apakah kamu masih punya ibu bapak (yang tidak bisa mengurus dirinya)?”. Saya menjawab: “Masih”. Beliau bersabda: “Uruslah mereka, karena syurga ada di bawah telapak kaki mereka”.”(H.R. Thabarani, Hadits hasan)
  1. Mandiri dalam Ekonomi/Mapan
Rasulullah SAW bersabda :
“Hai golongan pemuda, barangsiapa di antara kamu ada yang mampu (untuk membelanjai) menikah, hendaklah ia nikah, karena nikah itu akan lebih menjaga pandangan dan akan lebih memelihara kemaluan, dan barangsiapa belum mampu nikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri”(H.R. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
  1. Kualitas Dirinya Setaraf atau Lebih Baik, dalam Hadits :
“Manusia itu ibarat barang tambang, ada yang emas dan ada yang perak. Mereka yang terbaik pada zaman Jahiliyah, tetap terbaik pula pada zaman Islam, asalkan mereka memahami agama.” (H.R. Bukhari)
  1. Dapat Memimpin
“Laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta mereka…”(Q.S. An-Nisaa’ ayat 34 )
  1. Bertanggung jawab
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”(Q.S. Al-Qashash ayat 26)
  1. Bersifat Adil, dalam Hadits:
Dari Nu’man bin Basyir ra, bahwa ayahnya membawanya kepada Rasulullah saw, lalu ia bercerita kepada beliau: “Aku berikan kepada anakku ini salah seorang budakku untuk dijadikan pelayannya.” Rasulullah saw bertanya: “Apakah semua anakmu engkau beri semacam ini?” Jawabnya: “Tidak.” Rasulullah saw bersabda: “Kalau begitu batalkanlah.” Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah saw bertanya: “Apakah terhadap semua anakmu kamu berlaku seperti ini?” Jawabnya: “Tidak.” Beliau bersabda: “Takutlah pada Allah; dan berlaku adillah kepada anak-anakmu!” Ayahku lalu membatalkannya dan dia menarik kembali sedekahnya….(H.R. Bukhari dan Muslim)
  1. Berperilaku Halus , dalam Hadits:
Dari Abu Huraihah ra,ujarnya: Rasulullah saw bersabda: “Nasihatilah para wanita itu baik-baik, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk; dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang teratas. Jika engkau berlaku keras dalam meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Akan tetapi, jika engkau biarkan dia, tentu akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berikanlah nasihat baik-baik kepada para wanita.”(H.R. Bukhari dan Muslim)
  1. Tidak Kikir, dalam Hadits:
Dari ‘Aisyah, ujarnya: Sesungguhnya Hindun datang kepada Nabi saw, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang kikir dan tidak mau memberikan belanja yang cukup untukku dan anakku sehingga terpaksa aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.” Beliau bersabda: “Ambillah sekedar cukup untuk dirimu dan anakmu dengan wajar!” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
  1. Tidak Lemah Syahwat, dalam Hadits:
‘Umar bin Khattab berkata tentang suami yang lemah syahwat: ” Dia diberi tempo satu tahun. Jika dapat sembuh, (perkawinannya bisa diteruskan); dan jika tidak, mereka boleh diceraikan dan istrinya mendapatkan mahar dan harus ber’iddah.” (H.R. Baihaqi)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cinta dalam artian positif dapat memberi keindahan, memberi energi untuk berjuang, dan tentunya cinta membutuhkan pengorbanan. Seseorang yang lemah akan menjadi kuat, yang penakut menjadi pemberani, yang jauh akan terasa dekat karena cinta.
Menurut agama nikahilah seseorang karena wajah, harta, nasab, dan agamanya (ada 4 kriteria memilih jodoh).
Yang pertama, pilihlah wajahnya yang cantik/ tampan (biar gak bosen di rumah, biar kita betah di rumah, ada tempat bernaung, tempat curhat berbagi rasa suka dan duka).
Namun ingat, jangan dijadikan proritas utama. Karena wajah yang cantik/ tampan akan berubah seiring bertambahnya umur berkurangnya usia.
Yang kedua, carilah anak orang kaya. Namun ingat, jangan dijadikan patokan karena kekayaan bisa mendatangkan kesombongan! Tanpa harta memang orang sulit bahagia, namun harta bukanlah jaminan orang bisa hidup bahagia. Banyak orang miskin yang kaya, tapi tidak sedikit orang kaya yang miskin (maksudnya orang miskin kaya hati dan orang kaya yang kurang bersyukur). Lebih baik miskin harta kaya budi daripada kaya harta miskin budi. Lebih utama lagi kaya harta kaya budi.
Yang ketiga, faktor keturunan. Pepatah mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Biasanya anak merupakan hasil fotokopian kelakuan orang tuanya. Kalau orang tuanya sholih insyAlloh anaknya pun ikut sholih. Namun demikian faktor keturunan bukanlah faktor dominan karena segala sesuatu sangat tergantung hidayah Alloh SWT. Bisa jadi orang tuanya maling anaknya jadi kyai/ ulama, bahkan anak nabi pun bisa ikut-ikutan orang kafir. Pada akhirnya orang mau besar atau tidak ditentukan kepribadian orang itu sendiri. Iman harus dicari, tidak bisa diwarisi dari ayah yang bertaqwa.
Yang terakhir, faktor agama. Inilah faktor yang harus dijadikan prioritas utama menentukan calon pendamping hidup. Disinilah segala sesuatunya ditentukan. Wajah tampan/ cantik, anaknya orang kaya, keturunan orang sholih, namun kalau dia sendiri agamanya rapuh maka ketiga kriteria sebelumnya hanya akan mendatangkan malapetaka.
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kebenarannya, maka penulis menyarankan kepada pembaca untuk selanjutnya agar lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
- Shihab, Quraish, 2004, Mistik, Seks, dan Ibadahnya, Jakarta:Penerbit Republika.
- Indra, Hasbi, dkk, 2004, Potret Wanita Shalehah, Jakarta: Permadani.
- Nabila, 2006, Sambutlah Jodoh dengan Senyum, Bandung: CV. Nabila Elita Media.
- Labib, 2007, Dialog Wanita Modern, Surabaya:Putra Jaya.
- Harahap, Amru, 2009, Ikhtiar Cinta, Jakarta: Kultum Media.
- http://mayapuspitasari.wordpress.com/2008/09/04/kriteria-calon-suami-yang-diinginkan/



[1] Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadahnya, (Jakarta:Penerbit Republika, 2004), hal. 24.
[2] http://annaput3syukur.blogspot.com/2010/05/cara-mencari-calon-pendamping-hidup.html
[3] Ibid.,
[4] http://www.firanda.com/index.php/artikel/keluarga/41-kriteria-calon-istri-idaman-seri%201
[5] Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Permadani, 2004), hal. 11-19.
[6] Nabila, Sambutlah Jodoh dengan Senyum, (Bandung: CV. Nabila Elita Media, 2006) hal. 7.
[7] Labib, Dialog Wanita Modern, (Surabaya:Putra Jaya, 2007), Hal. 18
[8]
[9] Amru Harahap, Ikhtiar Cinta, (Jakarta: Kultum Media, 2009), hal.101-103
[10] http://gugundesign.wordpress.com/2009/03/18/kriteria-memilih-pasangan-hidup-menurut-islam/
[11] http://reza-pramadia.blogspot.com/2006/11/kriteria-calon-suami-yang-shaleh.html
[12] http://mayapuspitasari.wordpress.com/2008/09/04/kriteria-calon-suami-yang-diinginkan/