Selasa, 30 November 2010

TERAPI RASIONAL EMOTIF LAGI



-->
TERAPI RASIONAL EMOTIF
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Rasional emotif tergolong dalam orientsi atau perspektif kognitif. Akhir-akhir ini bernama REBT, singkatan dari Rational Emotif Behavior Teherapy, adalah suatu rancangan terapeutik dalam konseling atau psikoterapi yang dikembangkan oleh Albert Elles. Pemakai rancangan ini mementingkan berfikir rasional sebagai tujuan terapeutik. Menekankan modifikasi atau pengubahan, keyakinan irasional yang telah merusak berbagai konsekuensi emosional dan tingkah laku. Atau ringkasnya klien didukung untuk menggantikan ide tidak rasional dengan yang lebih rasional.
Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Alberl Ellis, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Teori ini dikembangkanya ketika ia dalam praktek terapi mendapatkan bahwa sistem psikoanalisis ini mempunyai kelemahan-kelemahan secara teoritis (Ellis,1974).
TRE (Terapi rasional emorif) lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientassi kognitif-tingkah laku-tindakan dalam arti menitik beratkan berfikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak.

BAB II
PEMBAHASAN
TERAPI RASIONAL EMOTIF
A. KONSEP-KONSEP UTAMA
TRE adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berfikir rasional dan jujur maupun untuk berfikir irasional dan jahat. TRE menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Menurut TRE, manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesak pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya.
TRE menekankan bahwa manusia berfikir, beremosi, dan bertindak secara simultan, jarang manusia beremosi tanpa berfikir, seab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik. Sebagaimana dinyatakan oleh Ellis “ketika mereka beremosi, mereka juga berfikir dan bertindak. Ketika mereka bertindak, mereka juga berfikir dan beremosi . ketika mereka berfikir, mereka juga beremosi dan bertindak”.
Tentang sifat manusia, Ellis menyatakan bahwa baik pendekatan psikoanaitik Freudian maupun pendekatan eksistensial telah keliru dan bahwa metodologi-metodologi yang dibangun di atas kedua sistem psikoterapi tersebut tidak efektif dan tidak memadai. Menurut Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri.
Ellis tidak sepenuhnya menerima pandangan eksistensial tentang kecenderungan mengaktualkan diri disebabkan oleh fakta bahwa manusia adalah makhluk –makhluk biologis dengan kecenderungan-kecenderungan naluriahnya yang kuat untuk bertingkah laku dengan cara-cara tertentu.
  1. TRE dan Kepribadian
Pandangan TRE tentang manusia adalah sebagai berikut:
Manusia dipandang sebagai sasaran tuntutan biologis dan sosial yang kuat, berpotensi berbuat rasional. Dapat mencegah dan mengeluarkan diri dari kesulitan emosional melalui kemaksimalan pemikiran rasionalnya. Konstruk inti mengenai kepribadian digambarkan sebagai suasana psikologis yang terutama ditimbulkan oleh pemikiran tidak logis, pemikira dan nalar bukanlah dua proses terpisah. Manusia terganjar dan terhukum oleh pemikiran atau bisik dari mereka sendiri.
Neurosis, yang didefenisikan sebagai “berfikir dan bertingkah laku irrasional”, adalah suatu keadaan alami yang pada taraf tertentu menimpa kita semua. Keadaan ini berakar pada kenyataan bahwa kita adalah manusia dan hidup dengan manusia-manusia lain dalam masyarakat.
Emosi-emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berfikir buruk terhadap sesuatu, maka kitapun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk. Ellis menyatakan bahwa “gangguan emosi pada dasarnya terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang diyakini secara dogmatis (pokok ajaran, atau kepercayaan, ajaran-ajaran yang tidak boleh dibantah) dan tanpa kritik, dan terhadapnya, orang yang terganggu beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah.
TRE menekankan bahwa menyalahkan adalah sebagian besar gangguan emosional. Oleh karena itu, jika kita ingin menyembuhkan orang yang neurotik atau psikotik, kita harus menghentikan penyalahan diri dan penyalahan terhadap orang lain yang ada pada orang tersebut. Orang perlu belajar untuk menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangan.
TRE memnyatakan bahwa orang-orang tidak perlu diterima dan dicintai, bahkan meskipun hal itu diinginkannya. Terapis mengajari para klien bagaimana meraasakan kesakitan, bahkan apabila para klien itu memang tidak diterima dan tidak dicintai oleh orang-orang lain yang berarti. Meskipun mendorong orang –orang untuk mengalami kesedihan karena tidak diterima oleh orang-orang lain yang berarti, terapis TRE berusaha membantu mereka untuk mengatasi segenap manifestasi daari depresi, kesakitan, kehilangan rasa berharga, dan kebencian.
TRE berhipotesis bahwa karena kita tumbuh dalam masyarakat, kita cenderung menjadi korban dari gagasan yang keliru, cenderung mengindoktrinasi diri gagasan-gagasan tersebut berulang-ulang dengan cara yang tidak dipikirkan dan autosugestif, dan kita tetap mempertahankan gagasan-gagasan yang keliru itu dalam tingkah laku overt kita. Beberapa gagasan irasional yang menonjolkan yang terus-menerus diinternalisasi dan tanpa dapat ddihindari mengakibatkan kekalahan diri. Ellis berpendapat sebagai berikut;
a. Gagasan bahwa sangat perlu bagi orang dewasa untuk dicintai atau disetujui oleh setiap orang yang berati di massyarakat.
b. Gagasan bahwa seseorang harus benar-benar kompeten, layak, dan berprestasi dalam segala hal jika seseorang itu menginginkan dirinya dihormati.
c. Gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat, dan harus dikutuk dan dihukum atas kejahatannya.
d. Gagasan bahwa lebih mudah menghindari daripada menghadapi kesulitan-kesulitan hidup dan tanggungjawab-tanggungjawab pribadi.
e. Gagasan bahwa adalah merupakan bencana yang mengerikan apabila hal-hal menjadi tidak seperti yang diharapkan.
f. Gagasan bahwa ketidakbahagiaaan manusia terjadi oleh penyebab-penyebab dari luar dan bahwa orang-orang hanya memiliki sedikit atau tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan kesusahan-kesusahan dan gangguan-gangguannya.
g. Gagasan bahwa masa lampau adalah determinan yang terpenting dari tingkah laku seseorang sekarang dan bahwa karena dulu sesuatu pernah mempengaruhi kehidupan seseorang, maka sesuatu itu sekarang memiliki efek yang sama.
  1. Teori A-B-C tentang Kepribadian
Teori A-B-C tentang kepribadian sangatlah penting bagi teeori dan praktek TRE. A adalah keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang. C adalah konsekuensi atau reaksi emosional seseorang reaksi ini bisa layak dan bisa pula tidak layak. A (peristiwa yang mengaktifkan) bukan penyebab timbulnya C (konsekuensi emosional). B yaitu keyakinan individu tentang A, yang menjadi penyebab C, yakni emosi emosional. Misalnya, jika seseorang mengalami depresi sesudah perceraian, bukan perceraian itu sendiri yang menjadi penyebab timbulnya reaksi depresi, melainkan keyakinan orang itu tentang perceraian sebagai kegagalan, penolakan, atau kehilangan teman hidup Ellis berkeyakinan akan penolakan dan kegagalan (pada B) adalah yang menyebabkan depresi (pada C), jadi bukan peristiwa perceraian yang sebenarnya (pada A). Jadi manusia bertanggung jawab atas penciptaan reaksi-reaksi emosional dan gangguan-gangguannya sendiri.
Untuk mudah dimengerti lagi, bahwa A Adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu, seperti kesulitan-ke­sulitan keluarga, kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal lain yang kita anggap sebagai penye­bab ketidak bahagiaan. B Adalah beliefs, yaitu keyakinan-ke­yakinan, terutama yang bersifat irasional dan merusak diri sendiri yang merupakan sumber ketidakbahagiaan kita. C Adalah consequence, yaitu konsekuensi-konsekuensi berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti panik, dendam dan amarah karena depresi yang bersumber dari keyakinan-­keyakinan kita yang keliru.
Bagaimana gangguan emosional dipertahankan?
Gannguan emosional itu dipertahankan oleh putusan-putusan yang tidak logis atau irrasional yang terus-menerus diulang oleh individu., seperti ”Aku benar-benar bersalah karena bercerai”, ” Aku orang tak berharga”, ”Aku merasa kesepian dan tertolak, dan ini adalah bencana yang mengerikan’. Ellis menyatakan bahwa ”Anda merasakan sebagaimana yang anda pikirkan”. reaksi-reaksi emodional yang terganggu seperti depresi dan kecemasan diarahkan dan dipertahankan oleh sistem keyakinan yang meniadakan diri, yang berlandaskan gagasan-gagasan yang irasional yang telah dimasukkan oleh individu kedalam dirinya.
Setelah A-B-C menyusul D, D adalah penerapan metode ilmiah untuk membantu para klien menantang keyakinan-keyakinannya yang irasional yang telah mengakibatkan ganggguan-gangguan emosi dan tingkah laku. Karena prinsip-prinsip logika bisa diajarkan, prinsip-prinsip ini bisa digunakan untuk menghancurkan hipotesis-hipotesis yang tidak realistis dan tidak bisa diuji kebenarannya. Metode logikoempiris ini bisa membantu para klien menyingkirkan ideologi –ideologi yang rusak.
Ellis menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus me­lawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psi­kologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.
TRE berasumsi bahwa karena keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai irasional orang-orang berhubungan secara kausal dengan gangguan-gangguan emosional dan behavioralnya, maka cara yang paling efisien untuk membantu orang-orang itu dalam membuat perubahan-perubahan kepribadiannya adalah mengonfrontasikan mereka secara langsung dengan filsafat hidup mereka sendiri,menerangkan kepada mereka bagaimana gagasan-gagasan mereka sampai menjadikan mereka terganngu, menyerang gagasan-gagasan irasional mereka diatas dasar-dasar logika, dan mengajari mereka bagaimana berfikir secara logis dan karenanya mendorong mereka untuk mampu mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan irasionalnya. Jadi, TRE mengonfrontasikan (merundingkan) pada klien dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya serta menyerang, menantang, mempertanyakan, dan membahas keyakinan-keyakinan yang irasional itu.
B. PROSES TERAPEUTIK
1. Tujuan-tujuan Terapeutik
Adapun tujuan TRE dalam konseling terutama adalah menghilangkan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, ketidakyakinan diri. Dan mencapai perilaku rasional, kebahagiaan, dan aktualisasi diri.
Ellis menunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam TRE yang diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik. Menurut Ellis, tujuan utama psikoterapis yang lebih baik adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka.
Inti dari proses terapeutik TRE ini adalah penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbahagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional. Proses terapinya sebagian besar adalah proses belajar-mengajar.
2. Fungsi dan Peran Terapis
Aktivitas-aktivitas terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu membantu klien membebasskan diri dari gagasanp-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah manjadikan klien suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang irasional dan tahyul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik. Langkah pertama: adalah menunjukkan kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya, menunjukkan bagaimana klien mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah memasukkan banyak “keharusan”, “sebaiknya”, dan “semestinya”.
Langkah kedua: adalah membawa klien ke tahap kesadaran dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus-menerus berfikir secara tidak logis dan dengan mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengalahkan diri dan yang mengekalkan pengaruh masa kanak-kanak. Dengan kata lain, karena klien tetap mereintroktrinasi diri, maka dia bertanggung jawab atas masalah-masalahnya sendiri.
Untuk melangkah kea rah pengakuan klien atas pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan irasionalnya, terapis mengabil langkah yang ketiga, yakni berusaha agar klien memperbaiki pikitan-pikirannya yang meninggalkan gagasan yang irasionalnya. TRE berasumsi bahwa keyakinan-keyakinan yang tidak logis itu berakar dalam sehingga biasanya klien tidak bersedia mengubahnya sendiri. Terapis harus membantu klien untuk mamahami hubungan antara gagasan-gagasan yang mengalahkan diri dan filsafat-filsafatnya yang tidak realistis yang menjurus pada lingkaran setan proses penyalahan diri.
Langkah terakhir dalam proses terapeutik adalah menantang klien untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan-keyakinan yang irasional. Diharapkan terapis menyerang inti pikiran irasional dan mengajari klien bagaimana menggantikan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang irasional dengan yang rasional.
TRE adalah suatu proses edukatif, dan tugas utama terapis adalah mengajari klien mengajari klien-klien cara-cara memahami dan mengubah diri. Ellis memberikan gambaran tentang apa yang dilakukan oleh pempraktek TRE:
a. mengajak klien untuk berfikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasioal yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku.
b. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya.
c. Menunjukkan kepada klien ketidalogisan pemikirannya.
d. Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien.
e. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.
f. Menggunakan absurnitas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien.
g. Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris.
h. Mengajari klien bagaimana menerapkan penerapan ilmiah pada cara berfikir sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekarang maupun pada masa yang akan dating, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berprilaku yang merusak diri.
3. Pengalaman Klien dalam Terapi
Proses terapeutik difokuskan kepada pengalaman klien pada saat sekarang. Sama halnya dengan terapi-terapi client-centered, dan eksistensial, TRE menitik beratkan pengalaman-pengalaman disini dan sekarang dan kemampuan klien untuk mengubah pola-pola berfikir dan beremosi yang diperoleh pada masa kanak-kanak.
Pokok permasalahannya adalah bagaimana agar klien bisa menjadi sadar atas pesan-pesan yang mengalahkan diri dan agar klien menantangnya. Ellis mengatakan bahwa klien acap kali bisa membaik bahkan meskipun dia tidak pernah memahami sumber atau perkembangan masalah-masalahnya.
Pengalaman utama klie dalam TRE adalah mencapai pemahaman. TRE berasumsi bahwa pencapaian pemahaman emosional (emosional insight) oleh klien atas sumber-sumber gangguan yang dialaminya adalah bagian yang sangat penting dari proses terapeutik. Ellis mendefenisikan pemahaman emosional sebagai “mengetahui ataumelihat penyebab-penyebab masalah dan bekerja, dengan keyakinan dan bersemangat, untuk menerapkan pengetahuan itu pada penyelesaian masalah-masalah tersebut”. Jadi, TRE menitikberatkan penafsiran sebagai suatu alat terapeutik.
TRE mengungkapkan tiga taraf pemahaman. Untuk menglukiskan ketiga taraf pemahaman, maka kita contohkan seorang klien pria yang berusaha mengatasi rasa takutnya terhadap wanita. Taraf pertama: klien menjadi sadar bahwa ada antesenden tertentu yang menyebabkan dia takut pada wanita. Taraf kedua: klien mengakui bahwa dia masih marasa terancam oleh wanita dan tidak nyaman berada di atara wanita karena dia tetap mempercayai dan mengulang-ulang, keyakinan-keyakinan irasional yang telah diterimanya. Taraf ketiga: terdiri atas penerimaan klien bahwa dia tidak akan membaik, juga tidak akan berubah secara berarti kecuali jika dia berusaha sungguh-sungguh dan berbuat untuk mengubah keyakinan-keyakinan irasionalnya dengan benar-benar, melakukan hal-hal yang bersifat kontropropaganda. Yang penting adalah bahwa klien terlibat dalam kegiatan yang akan menghancurkan penyangga-penyangga ketakutannya yang irasional.
TRE menekankan pekmahaman-pemahaman taraf kedua dn ketiga, yakni pengakuan klien bahwa dirinya yang sekarang mempertahankan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang semula menganggu dan bahwa dia sebaiknya menghadapinya secara rasional-emotif, memikirkannya, dan berusaha menghapuskannya.
4. Hubungan antara Terapis dan Klien
Menurut Ellis, para pempraktek rasional-emotif cenderung tampil imformal dan menjadi dirinya sendiri. Mereka sangat aktif dan direktif serta sering memberikan pandangan-pandangan sendiri tanpa ragu. Mereka bisa menjadi objektif, dingin, dan hamper tidak manunjukkan kehangatan kepada sebagian besar kliennya.mereka bisa bekerja dengan baik dalam menangani para klien yang secara pribadi, melainkan membantu klien dalam mengatasi gangguan-gangguan emosionalnya.
Hubungan pribadi atau kehangatan dan afeksi antara terapis dank lien tidak dipandang sangat penting dalam TRE, tidak berarti bahwa transferensi tidak dianggap signifikan. Ellis percaya bahwa hubungan antara terapis dan klien merupakan bagian yang berarti dari proses terapeutik, tetapi arti itu berbeda dengan arti yang terdapat dalam sebagian besar psikoterapi yang lainnya. Ellis mengatakan bahwa TRE menekankan pentingnya peran terapis sebagai model bagi para klien. Selama pertemuan terapi, terapis memainkan peran sebagai model yang tidak terganggu secara emosional dan yang hidup secara rasional. Terapis juga menjadi model orang yang berani bagi klien dalam arti dia secara langsung mengungkapkan system-sistem keyakinan klien yang irasional tanpa takut kehilangan rasa suka dan persetujuan dari klien.
Oleh karena itu TRE menekankan bahwa bantuan bagi klien bisa diperoleh dari terapis yang sangat terlatih dan rasional. Lebih dari itu, TRE menekankan toleransi penuh dan penghormatan positif tanpa syarat dari terapis terhadap kepribadian klien dalam arti terapis menghindari sikap menyalahkan klien. Terapis secara sinambung menerima klien sebagai manusia yang pantas dihormati, karena keberadaannya, dank arena apa yang dicapainya.
C. PENERAPAN: TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR-PROSEDUR TERAPEUTIK
1. Tek nik-Teknik dan Prosedur-prosedur Utama TRE
Teknik TRE yang esensial mengajarkan secara ektif-direktif. Segera setelah terapi dimulai, terapis memainkan peran sebagai pengajar yang aktif untuk mereduksi klien. Terapis menunjukkan penyebab ketidaklogisan gangguan-gangguan yang dialami klien dan verbalisasi-verbalisasi diri yang telah mengekalkan gangguan-gangguan dalam hidup klien.
TRE adalah suatu proses didaktik dan karenya menekankan metode-metode kognitif. Ellis menunjukkan bahwa penggunaan metode-metode terapi tingkah laku seperti pelaksanaan pekerjaan rumah, desensitisasi, pengondisian operan, hipnoterapi dan latihan asertif cenderung digunakan secara aktif-direktif dimana terapis lebih banyak berperan sebagai guru dibandingkan sebagai pasangan yang berelasi secara intens.
Teori yang menopang pelaksanaan pekerjaan rumah dalam TRE adalah bahwa karena orang-orang biasa mengatakan kepada diri sendiri kalimat-kalimat irasional yang menciptakan gangguan-gangguan emosional maka mereka mengondisikan diri dengan proses-proses berfikir dan pembayangannya sendiri. Jadi mereka sering menciptakan suatu ramalan pemenuhan hasrat diri yang negatif dan menjadi sungguh-sungguh gagal karena mereka selalu lebih dahulu mengatakan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka akan gagal.
Prosedur-prosedur pekerjaan rumah dirancang untuk membantu para klien agar mereka mengalami kecemasan yang bisa ditembuss oleh mereka bagi pertumbuhan pribadi. Sebagaimana dikatakan Ellis bahwa ”pelaksanaan pekerjaan rumah TRE biasanya merupakan cara-cara untuk mendorong mereka agar menjadi hedonis-hedonis jangka panjang: untuk tetap dengan kesakitan-kesakitan mereka sekarang...bahkan kadang-kadang memperhebat agar akhirrnya menghapuskan atau memusnahkan tingkah laku mengalahkan diri”. Menurut Ellis, para klien telah mempraktekkan verbalisasi-verbalisassi diri yang menimbulkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku dan pelaksanaan pekerjaan rumah mendorong mereka untuk mempraktekkan pengondondisian balik dengan seperangkat keyakinan yang rasional.
Dalam membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut :
a. Terlibat dalam permainan peran dengan klien.
b. Menggunakan humor.
c. Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun.
d. Membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang sesifik bagi tindakan.
e. Bertindak sebagai model dan guru.
f. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi.
g. Menggunakan "terapi kejutan vebal" atau sarkasme yang layak untuk mengkonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis.
h. Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.
i. Manusia berfikir, berperasaan dan bertindak secara serentak. Kaitan yang begitu erat menyebabkan jika salah satu saja menerima gangguan maka yang lain akan terlibat sama. Jika salah satu diobati sehingga sembuh, dengan sendirinya yang dua lagi akan turut terobati.
2. Penerapan pada Terapi Individual
TRE yang diterapkan pada penganganan seorang pada umunya dirancang sebagai yang relatif singkat. Ellis menyatakan bahwa orang yang mengalami emosional yang berat sebaiknya menjalani terapi individual maupun kelompok dalam periode tujuh bulan sampai satu tahun agar mereka memiliki kesempatan untuk mempraktekkan apa yang sedang mereka pelajari.
Ellis mengatakan bahwa kebanyakan klien yang ditanggani secara individual memiliki satu sassion setiap minggunya dengan jumlah antara lima sampai lima puluh sassion. Pertama klien mulai mendiskusikan masalah-masalah yang paling menekan dan menjabarkan perasaan-perasaan yang paling membingungkan dirinya. Kemudian terapis mencari peristiwa-peristiwa pencetus yang mengakibatkan perasaan-perasaan yang membingungkan itu. Terapis juga mengajak klien untuk melihat keyakinan-keyakinan irasional yang diasosiasikan dengan kejadian-kejadian pencetus dan mengajak klien untuk mengatasi keyakinan-keyakinan irasionalnya dengan menugaskan kegiatan-kegiatan pekerjaan rumah yang akan membantu klien untuk secara langssung melumpuhkan gagasan-gagasan irasionalnya itu serta membantu klien dalam mempraktekkan cara-cara hidup yang rasional. Setiap minggu terapis memeriksa kemajuan kliennya dan secara sinambung belajar mengatasi keyakinan-keyakinan irrasional sampai ia lebih dari sekadar menghilangkann gejala-gejala, yakni sampai mereka belajar cara-cara hidup yang lebih toleran dan rasional.
3. Penerapan pada Terapi Kelompok
TRE sangat cocok untuk diterapkan pada terapi kelompok karena semua anggota diajari untuk menerapkan prinsip-prinsip TRE pada rekan-rekannya dalam setting kelompok. Ellis telah mengembangkan suatu bentuk terapi kelompok yang dikenal dengan nama A Weekend of Rational Encounter yang memanfaatkan metode-metode dan prinsip-prinsip TRE. Terapi kelompok ini dibagi kedalam dua bagian utama. Bagian pertama terdiri atas 14 jam terapi rational-encounter tanpa berhenti, yang diikuti oleh waktu istirahat selama delapan jam. Bagian kedua mencakup terapi 10 jam lagi. Pada tahap-tahap permulaan, prosedur-prosedur emotif-evokatif tidak digunakan, dan tidak pula diusahakan pemecahan masalah dan pembuatan putusan. Setelah terapi berjalan lancar, prinsip-prinsip logika berfikir rasional yang biasa digunakan dalam terapi individual, diterapkan pada kelompok.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inti dari proses terapeutik TRE ini adalah penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbahagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional
Tujuan dari Rational Emotive Theory adalah:
1. memperbaiki dan mengubah segala perilaku yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.
2. Menghilangkan gangguan emosional yang merusak
3. Untuk membangun Self Interest, Self Direction, Tolerance, Acceptance of Uncertainty, Fleksibel, Commitment, Scientific Thinking, Risk Taking, dan Self Acceptance Klien.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik yaitu :
  1. Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku.
  2. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya.
  3. Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya.
  4. Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien.
  5. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.
  6. Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien
  7. Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris, dan
  8. Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara bepiki sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan iasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekaang maupun masa yang akan datang, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku yang merusak diri.
B. SARAN
Dari hasil makalah yang penulis buat ini, maka masih banyak kekurangannya baik dari sisi isi maupun dari sumber-sumber yang diambil, oleh karena itu untuk kelanjutannya penulis mengharapkan pembaca dapat meningkatkan dan mengembangkan lagi mengenai hal ini.

DAFTAR PUSTAKA
- Mappiare, Andi AT, 2009, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
- Corey, Gerald. 2009. Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
- Pujosuwarno Sayekti, M.Pd, Dr. 1993. Berbagai Pendekatan Dalam Konseling. Menara Mas Offset: Yogyakarta.
- Surya Mohammad. 1988. Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Konsep dan Teori).Yogyakarta: Kota Kembang.
- Sukardi, Dewa Ketut. 2000. Pengantar Pelaksanaan Progam Bimbingan Dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta

Rabu, 24 November 2010

KONSELING LINTAS BUDAYA



-->
KONSELING LINTAS BUDAYA

A. PENGERTIAN BUDAYA
Tokoh pendidikan nasional bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut: Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya).
Dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:
1. merupakan produk budidaya manusia,
2. menentukan ciri seseorang,
3. manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.

B. PENGERTIAN KONSELING
Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangn dirinya,dan untuk mencapai perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya ,proses tersebuat dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychologi). Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketiga hal tersebut. (Berdnard & Fullmer ,1969)
Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu:
1. adanya hubungan,
2. adanya dua individu atau lebih,
3. adanya proses,
4. membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.

C. KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecahbelah secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun
profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit
berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994).
Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan
konseling khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja
dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua pendekatan tersebut dapat dipadukan sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabelvariabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan
usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara
kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).
Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
1. latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
2. latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien,
3. asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
4. nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Nah, dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu:
1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
2. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral
3. Memahami bahwa kekuatan susio-politik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
4. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup
5. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.

Senin, 22 November 2010

atribusi sosial


-->
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang seringkali bertanya mengapa orang lain (atau dirinya sendiri) menunjukkan suatu perilaku tertentu. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini mencerminkan beberapa hal yang ingin dijawab oleh teori atribusi :
Ø Mengapa orang lain (dirinya) berhasil/gagal mencapai sesuatu?
Ø Mengapa dia (saya) mau melakukan perbuatan luhur itu?
Ø Mengapa dia (saya) tega melakukan perbuatan buruk itu?
Faktor-faktor penyebab dari perbuatan seperti dicontohkan pada pertanyaan-pertanyaan diatas, ingin dijawab oleh teori atribusi. Karena itu teori atribusi adalah teori tentang bagaimana manusia menerangkan perilaku orang lain maupun perilakunya sendiri dan akibat dari perilakunya yang dipertanyakan, misalnya : sifat-sifat, motif, sikap, dsb atau faktor-faktor situasi eksternal. Penjelasan kausal ini merupakan mediator antara stimuli yang diterima individu dengan respon yang diberikan terhadap stimuli itu. Untuk memberikan penjelasan/penerangan terhadap suatu perilaku atau suatu akibat perilaku itu, biasanya tidak hanya melihat perilakunya. Tetapi dilihat juga : masa lalu dari orang yang menunjukkan perilaku itu, motivasinya, situasinya, dsb.
BAB II
ATRIBUSI SOSIAL
A. PENGERTIAN ATRIBUSI
Atribusi adalah Memahami perilaku diri sendiri atau orang lain dengan menarik kesimpulan tentang , apa yang mendasari atau melatar belakangi perilaku tsb. Myers (1996) : kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu (sifat ilmuwan manusia), termasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain.
Teori atribusi adalah bagaimana kita membuat keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita merasa dan mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku seperti itu.
Untuk menilai orang lain berdasarkan sifat-sifat, tujuan atau kemampuan tertentu, mengharuskan kita untuk membuat atribusi atau kesimpulan tentang mereka. Karena kita tidak memiliki akses tentang pikiran-pikiran pribadi, motif ataupun perasaan orang lain, kita membuat kesimpulan tentang sifat-sifat mereka berdasarkan perilaku yang dapat kita amati. Dengan membuat atribusi semacam itu kita dapat meningkatkan kemampuan kita dalam meramalkan apa yang diperbuat oleh orang tersebut di kemudian hari.
B. DIMENSI-DIMENSI ATRIBUSI
  1. Penyebab-penyebab personal (internal) vs penyebab-penyebab dilingkungan (eksternal) : penyebab dari dalam diri individu atau diluar diri individu.
  2. Stabilitas : sifat mudah atau tidaknya faktor penyebab berubah.
  3. Controll ability : terkendali, berarti penyebab suatu kejadian berada di dalam kendali individu sendiri. Tidak terkendali, berarti faktor penyebab berasal dari luar diri individu.
C. TEORI-TEORI ATRIBUSI
  1. Psikologi “Naif” dari Heider
Minat Psikologi Sosial terhadap proses atribusi diawali dengan teori Fritz Heider (1958) yang peduli tentang usaha kita untuk memahami arti perilaku orang lain, khususnya bagaimana kita mengidentifikasi sebab-sebab tindakannya.
Secara umum, perilaku dapat disebabkan oleh daya-daya personal (personal forces), seperti kemampuan atau usaha dan oleh daya-daya lingkungan (environmental forces), seperti keberuntungan atau taraf kesukaran suatu tugas. Jika suatu tindakan diatribusi sebagai daya personal, akibatnya akan berbeda dengan tindakan yang diatribusi dengan daya lingkungan.
Kita mengatribusi suatu tindakan disebabkan daya personal, hanya jika orang yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan untuk bertindak, berniat untuk melakukan dan berusaha untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian, kita beranggapan bahwa atribusi tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat kita gunakan untuk meramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Di sisi lain, jika kita mengatibusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya dengan sifat orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan datang.
  1. Teori Atribusi dari Kelley
Teori Harold Kelley merupakan perkembangan dari Heider. Fokus teori ini, apakah tindakan tertentu disebabkan oleh daya-daya internal atau daya-daya eksternal. Kelley berpandangan bahwa suatu tindakan merupakan suatu akibat atau efek yang terjadi karena adanya sebab. Oleh karena itu, Kelley mengajukan suatu cara untuk mengetahui ada atau tidaknya hal-hal yang menunjuk pada penyebab tindakan, apakah daya internal atau daya eksternal.
Kelley mengajukan tiga faktor dasar yang kita gunakan untuk memutuskan hal tersebut, yaitu:
a. Konsistensi : respon dalam berbagai waktu dan situasi, yaitu sejauh mana seseorang merespon stimulus yang sama dalam situasi atau keadaan yang yang berbeda. Misalnya A bereaksi sama terhadap stimulus pada kesempatna yang berbeda, maka konsistensinya tinggi.
b. Informasi konsensus : bagaimana seseorang bereaksi bila dibandingankan dengan orang-orang lain, terhadap stimulus tertentu. Dalam artian sejauh mana orang-orang lain merespon stimulus yang sama dengan cara yang sama dengan orang yang kita atribusi. Misalnya bila A berperilaku tertentu, sedangkan orang-orang lain tidak berbuat demikian, maka dapat dikatakan bahwa consensus orang yang bersangkutan rendah.
c. Kekhususan (distinctiveness) : sejauh mana orang yang kita atribusi tersebut memberikan respon yang berbeda terhadap berbagai stimulus yang kategorinya lama.
Atribusi eksternal : konsistensi tinggi, konsensus tinggi dan kekhususan tinggi. Atribusi internal : konsistensi tinggi, konsensus rendah dan kekhususan rendah. Atribusi internal-eksternal: konsistensi tinggi, konsensus rendah dan kekhususan tinggi.
  1. Teori Correspondence Interference (Jones dan Davis)
Setiap individu seolah-olah akan membuat inferensi, seperti inferensi statistik, yaitu mencari pola umum (hukum umum) dengan membuang informasi yang tidak relevan. Sebutan inferensi koresponden juga disebabkan karena teori ini mencari korespondensi antara perilaku dengan atribusi disposisional (internal) yang berbeda dengan penyebab-penyebab atribusi situasional.
Teori ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah suatu perilaku itu disebabkan oleh disposisi (karakteristik yang bersifat relatif stabil) pada individu atau tidak.
Pertama-tama yang harus diketahui adalah akibat. Dengan mengetahui akibatnya, dapat diketahui intensi atau niat orang berbuat. Diyakini ada niat atau kesengajaan dalam berbuat, kalau individu mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan.
Setelah diketahui niat atau kesengajaan maka diinterferensi apakah perbuatan tersebut diperbuat karena faktor disposisional atau bukan. Untuk meyakini adanya faktor disposisional, maka harus ada dua hal yang dipenuhi, yaitu:
a. noncommon effects (akibat khusus) : perilaku tersebut bersifat unik pada individu, yaitu diantara berbagai pilihan yang mungkin dilakukan, individu memilih yang paling unik
b. social desirebility (kepantasan atau kelayakan sosial) : seberapa jauh perbuatan mempunyai nilai sosial yang tinggi. Kalau suatu perbuatan memang diinginkan banyak orang, maka perbuatan tersebut mempunyai nilai kepantasan sosial yang tinggi.
  1. Teori Bernard Weiner
Untuk memahami seseorang dalam kaitannya dengan suatu kejadian, Weiner menunjuk dua dimensi, yaitu:
a. dimensi internal-eksternal sebagai sumber kausalitas
b. dimensi stabil-tidak stabil sebagai sifat kausalitas
Dimensi-dimensi Atribusi Menurut Weiner
Stabil secara internal: kemampuan, intelegensi, karakteristik-karakteristik fisik. Stabil secara eksternal: kesulitan tugas, hambatan lingkungan. Tidak stabil secara internal: Effort, mood, fatique. Tidak stabil secara eksternal: keberuntungan (luck), kebetulan (chance), kesempatan (opportunity).
Atribusi terdiri dari dua macam, yaitu:
1. Atribusi Diri
Menurut Bem (1967, 1972) dalam mengatribusi diri sendiri kita kebanyakan menggunakan proses yang sama seperti mengatribusi orang lain. Biasanya kita terlebih dahulu melihat apakah ada penyebab perilaku kita yang berasal dari lingkungan melalui daya-daya eksternal. Jika tidak ada selanjutnya kita berasumsi bahwa perilaku kita terjadi karena motif-motif internal atau sifat-sifat pribadi kita sendiri. Pada akhirnya kita akan mengenali karakter kita sendiri melalui perilaku-perilaku kita.
Tokoh lain, Jones dan Nisbet (1972) membuat hipotesis lain, yaitu meskipun prosesnya mungkin sama, namun proses mengatribusi diri sendiri dan mengatribusi orang lain tidaklah sama. Kita cenderung melihat perilaku kita lebih banyak dikendalikan oleh situasi, sementara kita melihat perilaku orang lain lebih disebabkan oleh daya-daya internal. Perbedaan ini disebabkan karena kita melihat diri kita sendiri sebagai pribadi yang stabil yang berinteraksi dengan lingkungan yang berubah-ubah. Karena lingkungan yang berubah-ubah, maka kita menyimpulkan bahwa perilaku kita disebabkan karena perubahan situasi. Lain halnya jika kita mengamati perilaku orang lain, bagaimana pun juga kita melihat bahwa lingkungan merupakan factor yang stabil dan orang yang kita amati berubah-ubah.
2. Teori Sumber Perhatian Dalam Kesadaran (conscious attentional resources)
Teori ini menekankan proses yang terjadi dalam kognisi orang yang melakukan persepsi (pengamat). Gilbert dkk (1988) mengemukakan bahwa atribusi harus melewati kognisi dan dalam kognisi terjadi 3 tahap, yaitu :
  1. Kategorisasi : pengamat menggolongkan dulu perilaku orang yang diamati (pelaku) dalam jenis atau golongan tertentu sesuai dengan skema yang sudah terekam terlebih dahulu dalam kognisi pengamat (skema kognisi).
  2. Karakterisasi : pengamat memberi atribusi kepada pelaku berdasarkan kategorisasi tersebut.
  3. Koreksi : mengubah atau memperbaiki kesimpulan yang ada pada pengamat tentang pelaku.
Dalam kehidupan sehari-hari siklus kategorisasi, karekterisasi dan koreksi ini terjadi dalam setiap hubungan antarpribadi. Hubungan dapat bersifat positif dan negatif atau dapat berlanjut dan putus berdasarkan karakterisasi yang diberikan pada saat tertentu.
D. KESALAHAN ATRIBUSI
Menurut Baron dan Byrne (1994) kesalahan bersumber pada beberapa hal, yaitu:
  1. Kesalahan atribusi yang mendasar (the fundamental attribution error)
Kesalahan atribusi yang mendasar ini diakibatkan kecenderungan untuk selalu memberi internal dalam melihat perilaku seeorang. Misalnya di kantor akademik fakultas dakwah dan ilmu komunikasi, salah seorang petugasnya marah pada salah seorang mahasiswa yang ingin urusannya serba cepat, atau lebih dulu diselesaikan. Oleh karena itu mahasiswa tersebut tidak mematuhi aturan-aturan yang ada, petugas akademik tersebut marah. Orang akan mengambil kesimpulan bahwa pegasai kelurahan merupakan orang yang pemarah, tidak sabar, dan sebagainya.
Nah dari peristiwa tersebut perilaku yang dilihat hanya factor internal saja, namun factor eksternalnya dihiraukan. Cara mengatribusi seperti diatas mungkin tidak tepat, karena ada kemungkinan bahwa orang tersebut marah karena memang didorong oleh factor situasi atau factor eksternal, jadi bukan semata-mata factor internalnya saja.
  1. Efek pelaku-pengamat (the actor-observer effect)
proses persepsi dan atribusi sosial tidak hanya berlaku dalam hubungan antarpribadi, melainkan juga terjadi dalam hubungan antar kelompok, karena pada hakikatnya prinsip-prinsip yang terjadi ditingkat individu dapat digeneralisasikan ke tingkat antar kelompok.
Kesesatan disini adalah orang melihat prilaku orang lain hanya dari factor dalam, sedangkan kalau perilakunya sendiri hanya dilihatnya dari luar. Misalnya A melihat si B jatuh, si A beranggapan si B jatuh karena tidak hati-hati. Sedangkan apabila si A sendiri yang jatuh, si A akan mengatakan dia jatuh karena jalannya licin, sepatunya rusak, dan sebagainya.
  1. Pengutamaan diri sendiri (the self-serving bias)
Setiap orang cenderung untuk membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Bila orang mengalami keberuntungan, maka orang akan mengatakan itu disebabkan factor internal, sedangkan kegagalan dirinya disebabkan factor eksternal. Misalnya si B berhasil mendapatkan nilai yang bagus, si A akan menunjukkan bahwa si B berhasil karena si B rajin belajar, intelegensinya tinggi, dan sebagainya. Sebaliknya jika A yang mendapatkan nilai yang buruk, si A akan menunjukkan bahwa nilainya jelek diakibatkan soalnya terlalu sulit, dosennya pelit dan sebagainya.
Maka timbullah pertanyaan dibenak kita, mengapa dia melakukan demikian?
Dalam menjawab pertanyaan ini, ada beberapa pendapat, yaitu:
a. Orang mengambil sikap demikian untuk mempertahankan harga dirinya, yaitu bahwa seakan-akan sesuatu yang tidak baik itu disebabkan dari factor luar dirinya. Dengan demikian harga dirinya tidak jatuh.
b. Orang mengambil sikap itu, orang lain akan tetap respek padanya, karena hal-hal yang tidak baik itu disebabkan oleh factor-faktor luar dirinya, sehingga dengan demikian masyarakat akan tetap menghargainya, dan ini disebut self-presentation.
E. EFEK-EFEK ATRIBUSI KAUSAL
1. Penghargaan tentang masa mendatang (future)
a. Stabilitas atribusi
Weiner dkk berpendapat bahwa pengharapan atau keyakinan tentang masa mendatang merupakan fungsi dari kinerja masa lalu “past-performance” dan stabilitas atribusi terhadap performance masa lalu
b. Sekte dan perbedaan ras
Perempuan cenderung menerangkan keberhasilan atau kegagalan pada faktor diluar dirinya sedangkan laki-laki berpegang pada kemampuan. Hal ini dipengaruhi stereotype yg berkembang dimasyarakat.
Ras kulit hitam dipandang lebih rendah kemampuannya dibandingkan orang kulit putih
c. Interpersonal self-fulfilling prophecies
Penghargaan akan performance orang lain dapat menyebabkan orang lain tersebut berperilaku sesuai pengharapan atas dirinya.
2. Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan reward (hadiah) dan punishment (hukuman)
Evaluasi berkaitan dengan usaha dan kemampuan
3. Motivasi berprestasi
Motivasi prestasi naik: cenderung menilai sukses sebagai hasil dari tingginya kemampuan dan usaha. Motivasi prestasi turun: cenderung menilai sukses pada faktor eksternal dan kegagalan pada faktor internal
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Atribusi adalah Memahami perilaku diri sendiri atau orang lain dengan menarik kesimpulan tentang , apa yang mendasari atau melatar belakangi perilaku tsb. Myers (1996) : kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu (sifat ilmuwan manusia), termasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain.
Teori atribusi adalah bagaimana kita membuat keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita merasa dan mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku seperti itu.
Untuk menilai orang lain berdasarkan sifat-sifat, tujuan atau kemampuan tertentu, mengharuskan kita untuk membuat atribusi atau kesimpulan tentang mereka. Karena kita tidak memiliki akses tentang pikiran-pikiran pribadi, motif ataupun perasaan orang lain, kita membuat kesimpulan tentang sifat-sifat mereka berdasarkan perilaku yang dapat kita amati. Dengan membuat atribusi semacam itu kita dapat meningkatkan kemampuan kita dalam meramalkan apa yang diperbuat oleh orang tersebut di kemudian hari.
B. SARAN
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis minta bantuan saran untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Walgito, Bimo, 2003, Psikologi Sosial, Yogyakarta: ANDI
- http://www.psikologizone.com/teori-atribusi
- Ahmadi, 1999. Psikologi Sosial. Rineka Cipta Jakarta, 1999
- http://www.managementfile.com/column.php?sub=92&id=163&page=services&awal=40